KTP lagi, KTP lagi, kartu identitas resmi yang keluaran pemerintah melalui Disdukcapil ini tampaknya lebih penting dari semua benda di muka bumi. Kartu ini seperti menjadi kunci untuk mengakses penerimaan fasilitas dalam negeri.
Kartu yang kini bertambah "e-" di depannya ini seolah tak ada kesan elektronik dalam penggunaannya. Tidak ada perubahan yang berarti dengan ditambahkan satu huruf dan satu tanda baca ini. Kalau tidak difoto, di-scan ya di-copy, itulah tiga cara yang selama ini kita pahami untuk menggunakan kartu 'ajaib' ini.
Pemerintah melalui perusahaan 'plat merah'-nya kembali memunculkan kontroversi. Sebelumnya, penggunaan aplikasi yang katanya berhasil mempertepat subsidi dengan pembatasan pembelian maksimal 20 liter pada pemilik mobil, kenyatanya bakul bensin eceran masih menjamur di pinggiran jalan berupa bensin botolan maupun pertamini.
Seolah masyarakat setuju dengan keberhasilan ini, kebijakan baru yang menyangkut subsidi elpiji dikeluarkan dengan percaya diri. Masyarakat yang dulunya hanya perlu membawa tabung tak berisi, kini harus tidak kelupaan membawa satu benda lagi, benda yang lebih ajaib dari tongkat kera sakti.
Kebijakan ini sebelumnya pernah diterapkan diam-diam akhir tahun lalu. Entah itu sebagai uji coba atau apa, yang jelas tidak semua agen elpiji 3 kilogram menerapkan kebijakan itu. Kalau secara sembunyi-sembunyi, kenapa saya bisa tahu? Perkenalkan kerabat saya, namanya Bu Siti yang memiliki 3 pangkalan elpiji dari 3 agen yang berbeda.
Pangkalan yang dimiliki Bu Siti ada di tiga tempat, dua pangkalan di Karanganyar, satu pangkalan di Boyolali. Di Karanganyar, tanggung jawab pangkalan ada di bawah agen R dan agen L. Sedangkan di Boyolali ada di bawah naungan agen P. Perlu saya samarkan ketiga nama agen itu agar tidak terjadi apa-apa pada Bu Siti.
Bu Siti mengaku, dari tiga pangkalan yang dimilikinya, hanya agen L yang memberlakukan pembelian elpiji 3 kilogram dengan melampirkan fotokopi KTP. Bu Siti dituntut untuk meminta fotokopi KTP pembeli yang kemudian diserahkan kepada agen setiap bulannya.
Tuntutan itu membuat Bu Siti membuat kebijakan baru kepada para pembeli di pangkalannya. Di depan gerai toko kelontong yang nyambi pangkalan itu tertulis, "Beli gas elpiji 3 kg wajib melampirkan 1 KTP untuk 1 tabung, kuota 1 tabung per-KTP untuk 1 minggu." Pembatasan itu dilakukan beliau agar bisa mengumpulkan fotokopi KTP sebanyak-banyaknya.
Respon pembeli langganan Bu Siti sangat beragam, ada yang bilang, "Gapapa, yang penting ada barangnya." Karena saat itu elpiji sedang langka-langkanya. Ada pula yang bilang, "Tak bawa pulang dulu tabungnya, nanti tak kesini lagi bawa KTP." tapi sampai tahun berganti tak kunjung kembali.
Ada pula seorang pengusaha ketela oven yang butuh 4 tabung per minggu untuk kelancaran usahanya namun hanya ada dua KTP di keluarganya karena 2 anaknya masih kecil, sebut saja Bu Telo.
Bu Telo memberikan penawaran dengan memberikan fotokopi kartu identitas anak (KIA). Meskipun di kartu itu ada NIK anak, namun Bu Siti berpikir ulang, "Apa mungkin balita beli elpiji?"
Ada pula bakul ayam geprek (biasa dipanggil Pak Geprek) yang ngeyel-nya masyaallah. Bersikeras tidak mau taat pada aturan Bu Siti karena butuh elpiji 2 hingga 3 tabung per harinya.
Mas Yitno, anak bungsu Bu Siti lah yang saat itu melayani Pak Geprek karena Bu Siti sedang tidak ada di rumah. Pemuda berusia kepala dua itu dibuat kesal lantaran terpojok dalam perdebatan cukup alot. Melalui sambungan telepon, Bu Siti pun akhirnya memberi keringanan, khusus Pak Geprek dibolehkan membeli elpiji tanpa aturan.
Sebulan berselang, ratusan fotokopi terkumpul. Agar mempermudah urusan pangkalannya, Bu Siti yang gagap teknologi memutuskan untuk menyuruh mas Yitno untuk men-scan kumpulan fotokopi KTP yang telah terkumpul itu dan menyimpannya di komputer sebelum diserahkan kepada agen dalam bentuk lampiran laporan agar mempermudah laporan bulan depan dan seterusnya.
Hingga sekarang kebijakan itu tidak diberlakukan lagi, karena Bu Siti saat ini hanya perlu merekayasa nama pembeli dan melampirkan fotokopi KTP yang telah di-scan pada laporan penyaluran subsidi elpiji kepada agen L.
Jika aturan ini betul betul diterapkan di tahun ini, bisa dipastikan akan banyak Pak Geprek lain yang membuat pengelola pangkalan elpiji "kena mental". Masyarakat yang sudah menganggap harga subsidi elpiji sebagai harga wajar tidak mungkin mau membeli elpiji non subsidi yang harganya dilipat berkali-kali.
Ke-ngeyel-an pembeli ini juga akan dipastikan membuat pangkalan yang entah berapa ribu jumlahnya merekayasa data penyaluran agar bisnisnya berjalan dengan lancar, sebagaimana yang sudah dilakukan Bu Siti akhir tahun lalu hingga sekarang.
Kalaupun tidak merekayasa, pencatatan ganda pasti akan terjadi di beberapa pangkalan. Karena orang 'bandel' selalu punya plan B. Jika KTP sudah digunakan di satu pangkalan, mereka tinggal mencari pangkalan lain yang belum menerima KTPnya. Itu lah yang selama ini dilakukan oleh toko kelontong pengecer elpiji untuk mengatasi pembatasan subsidi.
Selain tidak efektif, penggunaan KTP dalam bentuk fotokopi ini juga bisa buat hacker yang hingga saat ini belum terungkap kembali berulah. Sebagai perseroan yang dipasrahkan untuk mengurus penyaluran subsidi, perusahaan berlambang 3 bendera ini sepertinya belum punya cara lain untuk menyimpan kartu-kartu ini selain dalam bentuk file.
Kebobolan data pribadi bukan sekali terjadi di negeri ini. Sudah beberapa kali, bahkan tak terhitung lagi. Penggunaan KTP bisa jadi bukan lah solusi saat ancaman keamanan siber masih belum bisa diatasi. Semoga kebijakan ini diperdalam lagi, sehingga tidak salah langkah lagi.
Penulis: Muhammad Arif Prayoga
Tags: opini, 3 kilogram, KTP, elpiji melon, Tabung gas elpiji,
0 Komentar