Opini, Copa Media–Hari Minggu kemarin, saat saya sedang santai di kasur untuk menikmati hari libur sambil melakukan kegiatan lama yang sudah jarang saya lakukan lagi. Scrolling Twitter. Entah sejak kapan saya meninggalkan aplikasi "burung biru" ini. Sejak saya tinggalkan dulu, memang ada sedikit perubahan dalam tampilan, tapi aura cuitan-cuitan berisi julid-an masih bertebaran dan sama rasanya.
Selain ada restoran yang turut mengiklan dengan bilang bahwa di sana tidak ada larangan, cuitan ini juga menjadi pemicu perdebatan alot mengenai kebijakan ini. Awalnya saya setuju dengan anggapan julid ini. Ketika saya sedang ingin makan sesuatu sedangkan dompet saya hanya cukup untuk beli makanannya, saya perlu membawa minuman dari rumah untuk berhemat.
Selain itu, saya merasa kontra dengan kebijakan ini karena beberapa restoran ada yang pelayanannya cepat, ada pula yang lambat. Menu yang menurut pengalaman saya lama pelayanannya adalah nasi goreng, apalagi kalau lapaknya sudah terkenal enak sehingga harus lama mengantre.
Saat perut saya keroncongan di malam hari dan saya sedang ingin makan nasi goreng, saya tidak bisa menunggu terlalu lama sampai nasi goreng itu jadi. Saya perlu nyemil makanan ringan seperti roti untuk mengganjal perut saya. Menurut saya itu hal yang seharusnya tidak dilarang oleh pihak restoran.
Namun, setelah membaca dan menelaah beberapa balasan dari orang yang pro dengan kebijakan ini, saya jadi merasa bahwa gagasan yang mereka lontarkan cukup masuk akal untuk melawan argumen tweet pemicu perdebatan ini. Setelah membaca argumen dari kedua sisi, saya malah jadi bingung posisi saya ada di mana. Berikut adalah hal-hal yang membuat saya berpikir ulang mengenai pro kontra kebijakan ini.
#1 Masalah etika
Argumen pertama yang menurut saya masuk akal dari orang yang setuju dengan kebijakan mengesalkan ini adalah permasalahan etika. Dengan membawa makanan maupun minuman dari luar restoran etika dari pelanggan pantas untuk dipertanyakan.
Ibarat kata, ketika sedang ada orang bertamu di rumah saya, ibu saya memasak dengan susah payah untuk menjamu tamu tersebut. Tentunya bukan menu ecek-ecek, melainkan menu spesial yang bahkan jarang disajikan kepada anggota keluarganya. Nah, kalau si tamu ini menolak tawaran ibu saya dan malah makan makanan yang dibawanya sendiri dari rumah, bukankah itu etika yang salah?
#2 Masalah kebersihan
Sebagai warga negara plus enam dua, saya menyadari betul kurangnya kepekaan penduduk sini terkait masalah kebersihan. Dengan tidak membawa "benda asing" dari luar restoran, akan memudahkan urusan para karyawan di restoran itu. Kalau minuman tumpah atau saus nyiprat, kan bisa dibersihkan hanya dengan dilap.
Beda kalau minuman kemasan yang dibawa dari luar. Malas membawa pulang sampah ujung ujungnya ditinggal di meja, diambil pelayan, dibuang di sampah, sampahnya menumpuk kepenuhan. Bagaimana dong? Serba salah bukan?
#3 Menghindari risiko kambing hitam
Urusan perut adalah urusan yang sensitif bagi seluruh pengelola rumah makan. Bagaimana tidak, kalau ada pelanggan yang tiba-tiba perutnya sakit, atau bahkan sampai mulutnya berbusa, pasti pihak restoran lah yang disalahkan. Padahal bisa jadi itu disebabkan oleh makanan maupun minuman yang dibawanya sendiri dari luar.
Kejadian kambing hitam terhadap rumah makan ini pernah terjadi di sebuah kedai kopi yang menjadi tempat kejadian perkara kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang sempat menggegerkan publik beberapa tahun yang lalu.
Saat itu, Jesicca selaku terdakwa mengirimkan pesan kepada saudara korban dengan screenshot artikel yang menyebutkan bahwa Kopi Vietnamlah yang menjadi penyebab kematian saudaranya. Padahal, terbukti di persidangan bahwa dirinya lah yang membawa sianida dari luar untuk dimasukkan ke dalam minuman korban.
Gambar: bridgesward / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: opini, Twitter, Masuk akal, Restoran, Dilarang bawa makanan dari luar,
0 Komentar