Desa katanya menjadi hunian impian keluarga budak korporat yang hidup sambil menghirup hiruk-pikuknya suasana kota. Tapi, saya yang sekarang hidup di desa malah nggak betah. Apa sebabnya?
Artikel ini pernah dikirim dan ditayangkan di Terminal Mojok dan telah memenuhi persyaratan untuk diunggah di media lain atas persetujuan penulis dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari setelah penayangan di Terminal Mojok.
Opini, Copa Media–Pada suatu waktu, sepupu saya yang rumahnya di Jakarta mengunjungi rumah orang tua saya yang masih layak disebut desa, tapi nggak desa-desa amat. Sepupu saya itu berceloteh, "Enak ya di sini, adem, nggak kayak di Jakarta, panas."
Mengingat perkataan sepupu saya waktu itu, saya malah ingin berkeluh tentang hidup di tempat tinggal saya sekarang yang merupakan desa yang benar-benarnya desa. Faktanya, untuk tinggal di tempat yang dikata lebih sejuk dibandingkan dengan nuansa perkotaan ini jauh lebih menguji kesehatan jiwa dan batin. Apa saja itu?
#1 Nggak ada tukang sampah
Hidup di kota biasanya dilengkapi dengan fasilitas pembuangan sampah dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat. Fasilitas ini perlu sangat disyukuri oleh sepupu saya. Pasalnya, hidup di desa nggak menjamin ada fasilitas ini.
Nggak tahu ya desa lain, tapi di tempat tinggal saya sekarang ini tidak ada. Padahal ya meskipun jauh dari pusat kabupaten, di sini nggak terpencil-terpencil amat. Masih bisa dijangkau dengan mudah.
Saya sempat bertanya dengan warga sekitar, saat itu saya kira ada fasilitas pembuangan sampah, tapi saya saja yang belum tahu. Saya tanya ke salah seorang warga di desa itu apakah ada fasilitas pembuangan sampah di desa ini? Warga desa itu malah menjawab, "Di sini sampah-sampah dibakar mas, nggak ada tukang sampah." Duh, repot sekali ya.
#2 Kepo di setiap urusan
Entah kenapa, setiap urusan kita menjadi urusan warga desa juga. Apapun. Kemarin, saya sedang mematikan stop-keran PAM karena ada keran air yang harus diperbaiki. Letak flow meter PAM yang ada di sawah dekat area rumah saya membuat saya harus melewati sawah untuk menggapainya. Eh, ada warga desa entah datang dari mana bertanya dengan berteriak, "Ngapain di situ?" Kepo sekali dia dengan urusan saya.
Pernah juga pada suatu waktu, istri saya tengah pulang dari membeli sayur untuk makan malam. Seorang bapak-bapak yang kebetulan lewat di depan rumah bertanya kepada saya mengenai dari mana istri saya datang. Saya tidak menjawab karena memang saya pikir orang itu tidak perlu tahu. Eh, badannya malah meleyot seolah mencari tahu sendiri bungkusan apa yang dibawa istri saya. Duh, hancur sudah privasi kami.
#3 Banyak basa-basi
Kenapa warga desa kalau memerlukan sesuatu harus dikomunikasikan dengan bahasa yang berbelit-belit? Pak Geprek (penjual geprek dekat rumah saya) misalnya, dia tahu saya menyimpan uang kembalian cukup banyak karena rumah saya nyambi jualan bensin. Segala cara dia lakukan supaya saya mau menukarkan uangnya.
Basa-basinya sangat panjang lebar sambil tangannya membawa uang seratus ribu. Setelah mendengarkan uraian panjang itu baru dia mengatakan maksud dan tujuan kedatangannya kepada saya yang adalah menukar uang. Haduh, Pak, ribet sekali hidupmu. Kalau sudah kadung termakan basa-basi, kan saya jadi sungkan untuk tidak memberi uang pecah.
#4 Susah pasang provider internet
Memasang provider internet tidak bisa seenak jidat. Untuk menjangkau calon pelanggan, diperlukan tiang-tiang untuk menyangga kabel dari kantor penyedia layanan provider ke rumah pelanggan. Kalau tidak ada satu pun tiang itu di tempat tinggalmu sudah pasti tidak akan bisa untuk memasang provider internet.
Pun, kalau ada tiang pendek yang biasanya berwarna hitam itu, arus yang terjadi dalam kabel itu adalah searah, alias arus DC. Sehingga, jika ada seseorang yang ingin provider internet di sebuah daerah dan dia adalah pelopor alias orang pertama, maka pihak penyedia provider internet harus menambah kabel lagi dari kantornya atau menambahkan hub untuk membuat cabang pada kabel itu.
Setahu saya, pemasangan provider internet diluar jangkauan akan ditolak oleh penyedia layanan. Kalaupun memaksa untuk memasangnya, biaya penambahan jaringan akan dibebankan kepada calon pelanggan. Pastinya, kalau dibayangkan perlu uang banyak untuk sekadar ingin pasang saja. Belum bayar bulanannya. Huh.
#5 Rawan dijulid
Saya baru menetap di sini beberapa bulan. Awalnya sendiri, kini ditemani oleh istri. Adanya perempuan yang nggak dikenal warga desa ini membuat mereka bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan yang seharian berduaan dengan saya. Mungkin, dikira mereka saya menyelundupkan seorang perempuan di rumah saya. Padahal kalau mau bukti buku nikah semuanya ada.
Beberapa orang yang malas bertanya hanya melirik heran dengan mata melotot sambil mengendarai motor di depan rumah saya. Istri saya merasa risih dibuatnya, sampai-sampai dia menyarankan untuk memasang pas foto dokumentasi pernikahan kami dengan ukuran yang bisa dilihat dengan jelas oleh para pengendara motor yang lewat di depan rumah saya. Ide bagus sih, tapi apa perlu?
Gambar: Jörg Peter / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Nggak betah, 5 Hal, opini, Hidup di desa,
0 Komentar