Cukai Minuman Berpemanis Ditambah: demi Diabetes atau Pendapatan Negara?



Minuman kemasannya nggak salah. Memang kita-kitanya saja yang demen meneguknya. Kenaikan harga rasanya nggak akan membuat jera penikmatnya. Berapapun akan dibeli, selagi enak dan segar untuk dinikmati.


Artikel ini pernah dikirim dan ditayangkan di Terminal Mojok dan telah memenuhi persyaratan untuk diunggah di media lain atas persetujuan penulis dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari setelah penayangan di Terminal Mojok.

Kesehatan, Copa Media–Jumlah kasus diabetes di kalangan anak pada tahun 2023 ini lebih tinggi 70 persen dibandingkan dengan jumlah pada 2010 lalu. Itulah catatan yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Anak (IKD) baru-baru ini. Kenaikan derastis inilah yang menjadi alasan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menyurati Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan usulan untuk menambah cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).


Surat mengenai dorongan penambahan cukai kepada MBDK itu kabarnya tengah dievaluasi oleh Kemenkeu. Pembahasannya di DPR baru akan dilaksanakan pada Mei tahun ini. Kemungkinan, kebijakan baru terkait masalah ini sedang dipersiapkan untuk diterapkan pada awal tahun depan.


Sebenarnya saya setuju untuk mengurangi konsumsi gula pada anak zaman sekarang. Terlebih, dewasa ini makanan dan minuman yang dominan rasa manis menjadi konsumsi favorit kalangan muda. Baik sebagai Konsumsi pokok sehari-hari, maupun saat hendak jajan pada waktu-waktu tertentu sebagai bentuk self reward. 


Pak Menkes membuat gebrakan untuk mendorong para pengusaha untuk membuat produk MBDK dengan kandungan gula yang lebih rendah. Namun, beliau juga memberikan usulan kepada Kemenkeu mengenai penambahan cukai pada MBDK. Katanya, dengan ditambahnya cukai ini, dapat membuat kesadaran masyarakat meningkat terkait konsumsi gula yang harus dibatasi.


Saya setuju-setuju saja mengenai untuk pembatasan yang didorong kepada produsen ini. Wewenang untuk menyehatkan masyarakat Indonesia menjadi tanggung jawab mutlak oleh Pak Menkes selama Kemenkes dibawahinya. Tapi tidak untuk menjadikan lonjakan kasus penderita diabetes sebagai usulan untuk menambahkan cukai pada MBDK.


Menurut saya, penambahan cukai ini sudah melenceng dari kepentingan kesehatan. Alih-alih membuat masyarakat sadar terkait pentingnya pembatasan konsumsi gula sebagai penyebab terbesar diabetes, saya lebih melihat usulan kebijakan ini lebih pada memanfaatkan dompet para penikmat minuman manis berkemasan.


Bertambah mahalnya makanan atau minuman yang difavoritkan nggak bakal membuat peminatnya menurun. Ada sih kemungkinan untuk penikmat tersebut beralih ke produk yang lebih murah. Tetapi, kefavoritan dirinya terhadap jenis minuman yang mengandung banyak gula nggak akan hilang. Sebagai alternatif, dia akan mencari minuman dengan rasa manis yang sama dengan harga yang lebih murah. Sama saja nggak sih?


Lagian, kalau jadi diterapkan, pastinya seluruh merk dagang MBDK akan terdampak atas kebijakan ini. Artinya, kenaikan harga pada minuman favorit kawula muda ini akan bersifat menyeluruh terhadap semua merk dagang yang sudah terdaftar oleh BPOM. Kalau semua merk harganya naik, bukankah jatuhnya sama saja? Lebih seperti kenaikan harga akibat inflasi bukan?


Yang saya lihat, bukan orang-orang kecil yang menjadi konsumen yang akan menjadi lebih sehat. Melainkan, negara lah yang menjadi penerima cukai yang semakin kaya karenanya. Berkontribusi kepada negara memang bagus, tapi kalau dimanfaatkan karena menggemari minuman manis berkemasan, rasanya terlalu berlebihan. Apalagi kalau kenaikan harganya terlalu tinggi hingga nggak bisa dijangkau oleh masyarakat, meskipun kayaknya nggak mungkin, tetapi dampak buruknya akan lebih besar lagi. Apa saja itu?


Pertama, produk kemasan akan kalah saing dengan pedagang kaki lima atau pemilik usaha gerobak keliling. Mereka yang menggelar lapak di pinggiran jalan sebagai aktivitas harian, bahkan profesi, nggak terdampak dengan adanya kebijakan ini. Kebanyakan dari mereka adalah perorangan yang nggak terikat oleh BPOM atau PIRT. Berpindahnya konsumen selaku pelanggan yang awalnya setia ini tentu membawa kerugian bagi produsen MBDK bersertifikasi.


Kedua, masyarakat ujung-ujungnya akan mengonsumsi minuman yang mungkin bahkan lebih nggak menyehatkan dibandingkan dengan minuman dengan kadar gula tinggi yang bersertifikasi. Nggak semua pengusaha itu baik, mengonsumsi makanan atau minuman yang dijual di pinggir jalan yang nggak terikat aturan BPOM bisa jadi malah membuat masyarakat lebih jauh dari kata sehat. Senyawa kimia dalam bahan baku bakal nggak terkontrol, akibatnya, mungkin malah menderita penyakit yang lebih parah dibandingkan diabetes.


Ketiga, pun, kalau semuanya diatur ketat oleh pemerintah, penikmat makanan dan minuman manis akan membuat sendiri apa yang disukainya dengan kadar gula awur-awuran sesuai selera. Nggak mungkin dong, aturan cukai ini menyasar ke orang-orang yang meramu sendiri makanan yang dikonsumsinya. Ya kan?


Nah, kan? Kalau dipikir-pikir, menyadarkan masyarakat untuk lebih berhati-hati kepada gula dengan menambah cukai pada MBDK adalah cara yang sia-sia. Menurut saya, daripada usulan Pak Menkes ini, saya lebih menyarankan untuk memfasilitasi masyarakat untuk konsultasi terkait nutrisi secara gratis dengan menggaet para pakar nutrisi.


Biarkan orang-orang yang peduli dengan kebutuhan nutrisi pada tubuhnya saja yang mendatangi konsultan tersebut. Masyarakat yang bodoamat dengan kesehatannya dibiarkan saja. Mau disadarkan dengan keuangan, larangan, anjuran, sosialisasi, dan lain sebagainya, mereka nggak akan sadar. Mereka baru akan sadar saat tubuhnya menderita penyakit akibat berlebihan mengonsumsi sesuatu, salah satunya gula yang menyebabkan diabetes.



Gambar: Stefan Schweihofer / Pixabay

Penulis: Muhammad Arif Prayoga 


Tags: Pendapatan negara, Cukai, Minuman Berpemanis dalam Kemasan, Menkes, Kementerian Keuangan, Kemenkeu, Keuangan, Penambahan, MBDK, Diabetes, Menteri Kesehatan,

Posting Komentar

0 Komentar