Di Jerman, pria menikah dengan pria ingin punya anak dua. Di India, seorang ayah dihamili istrinya. Sebenarnya, apa sih mau mereka?
Opini, Copa Media–Akhir-akhir ini kasus Childfree yang digagas oleh Gita Savitri menyeruak di sosial media. Seluruh unsur masyarakat dari berbagai kalangan turut andil dalam perbincangan mengenai gagasan influencer yang kisah hidupnya pernah difilmkan di layar lebar pada tahun 2020 lalu.
Terlepas dari kasus yang sudah banyak diperbincangkan minggu lalu itu, ada seorang influencer lain yang seolah menampakkan batang hidung hanya untuk dihujat. Pasangan Gay yang beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan juga imbas kedatangannya sebagai narasumber di Podcast Close The Door.
Video berkonsep tanya jawab seputar kehidupan sebagai pengidap kelainan sosial LGBT itu sudah di-takedown videonya secara pribadi oleh Deddy Corbuzier setelah berkonsultasi dengan sejumlah pihak. Bak menjadi peredam kemarahan orang-orang, sejumlah pihak yang tadinya ribut mulai tenang dan berangsur melupakan dua sejoli kontroversial ini. Namun, baru-baru ini mereka kembali berulah dengan turut membahas gagasan childfree di sosial media Instagram.
Dalam sebuah foto berdua yang diunggahnya di akun Instagram pribadinya, dia menuliskan sebuah caption yang aneh bin kontroversial. Memang, akun instagram itu bahkan kedua sejoli itu sudah aneh, nggak ada kewajaran di dalamnya. Namun, keanehan itu justru ditambah dengan keberadaan caption nggak jelas dan nggak masuk di akal saya. Mereka berharap bisa mendapatkan anak dari hubungan sesama jenis itu. Sungguh harapan yang sia-sia.
Kata caption itu, mereka nggak mau mengambil pilihan untuk childfree dan mau memiliki setidaknya dua anak agar sesuai dengan program Keluarga Berencana (KB) yang selalu dicanangkan dan ditekankan pemerintah agar dilakukan oleh setiap pasangan suami istri di Indonesia. "Kok aku gak isi isi yah," katanya. Meskipun saya ragu bahwa dia sedang serius dan hanya bercanda saja, namun saya rasa bercandaan orang waras nggak akan separah itu.
Pasutri yang waras namun nggak kunjung mendapatkan amanah momongan pasti sangat marah dibuatnya ketika membaca untaian kalimat ini. Bagaimana tidak, bisa-bisanya mereka mengemban harap untuk mendapatkan anak dari hubungan yang secara nalar pikiran manusia sehat nggak mungkin bisa punya anak.
Jadi, sebenarnya mereka sedang melawak, atau memang mereka kurang pendidikan mengenai perbedaan jenis kelamin manusia? Kalau itu lawakan, Bro, saya kasih tahu bahwa itu lawakan nggak lucu bahkan terkesan menghina pasangan-pasangan yang sangat mengidam-idamkan momongan hingga harus merogoh kocek yang nggak sedikit untuk meningkatkan kesuburan.
Pilihan anehmu itu terserah, nggak mau ngurus saya, tapi lawakan ini nggak bisa dibiarkan. Dengan pilihan aneh itu, bukan berarti orang-orang waras yang nggak sepemahaman dengan pola pikir anehmu perlu direndahkan dengan menjadikannya lawakan. Termasuk mereka yang sedang berjuang yang biasa menamai usahanya sebagai pejuang 2 garis biru. Tolong dijaga sedikit adabnya, bodoh boleh, biadab jangan.
Kabar kontroversial dari sosial media pasangan pemuda berkelamin sejenis yang mengungsi ke Jerman akibat nggak adanya pengakuan atas keputusan nggak biologis mereka datang bersamaan dengan kabar yang cukup membuat saya menggelengkan kepala. Sebuah pasangan transgender yang bertukar peran dalam menjalani hubungan, tapi akhirnya sama saja.
Kasus penyimpangan seksual yang terjadi pada dua insan yang merupakan pasangan gay tadi saja sudah cukup aneh. Kini, ada pula sebuah kabar yang lebih aneh bin nyeleneh datang dari negara yang terkenal dengan makanan jalanannya yang bercampur dengan getir pahitnya asam keringat non higienis imbas pengkastaan diskriminatif yang memang sudah membudaya di sana.
Dua sejoli pasangan transgender di India bersyukur atas kelahiran anak pertama mereka. Pasangan itu adalah Zahad, sang ayah yang terlahir sebagai seorang wanita dan Ziya, sang istri yang terlahir sebagai pria. Bingung? Ya, saya juga. Intinya, mereka berdua yang sudah bertukar peran dalam keluarganya itu dikaruniai anak pertama dengan berat 2,9 kilogram.
Saat memutuskan untuk hamil, sang ayah kondisinya sudah melakukan operasi pengangkatan kedua payudaranya, namun untuk rahim yang menjadi organ reproduksinya belum sempat diangkat, katanya. Saat lahir, Zahat sudah tidak memproduksi ASI lagi, sehingga pemberian asupan susu diberikan kepada anak mereka didapat dari bank internal rumah sakit di sana.
Kasus penyimpangan seksual yang satu ini jauh lebih aneh, rumit, dan nggak bisa ditebak maksud dan tujuannya apa. Kalau tujuannya adalah sebagai bentuk protes terhadap takdir jenis kelamin mereka, seharusnya kehamilan itu nggak akan terjadi. Tapi, kehamilan itu tetap terjadi, sehingga menggugah anggapan saya bahwa operasi kelamin yang mereka lakukan sia-sia. Ya, nggak sih?
Kalau ujung-ujungnya mau hamil, kenapa harus mengangkat organ produsen ASI sebelum akhirnya punya minat untuk menggunakan organ reproduksinya untuk berkembang biak? Kalau istri yang ditakdirkan sebagai laki-laki masih mau dan nggak ada masalah untuk bersetubuh dengan suami yang sebenarnya ditakdirkan menjadi seorang wanita, kenapa harus bersusah payah menukar jenis kelamin? Malah jadi menyusahkan diri sendiri kan?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala saya dan nggak kunjung terjawab oleh nalar akal sehat saya. Ah sudahlah, memang sejak awal keberadaan penyimpangan seksual bukan untuk dipikirkan, ditelaah, apalagi dilakoni. Karena, apapun alasan mereka, hal menyimpang tetaplah hal menyimpang, mendebat perlakuan mereka hanya akan menimbulkan debat kusir yang nggak ada ujungnya.
Sebagai manusia yang ditakdirkan waras, kita, apalagi saya, nggak bisa berbuat banyak. Yang bisa dilakukan hanyalah memanjatkan doa atas kesadaran yang muncul sendiri dari benak mereka. Sekali lagi, sebenarnya saya nggak ada masalah sama mereka, hanya saja tingkah aneh mereka kadang membuat pikiran saya dipenuhi dengan dengungan tanya. Apalagi kalau sudah ada unsur merendahkan usaha orang lain seperti yang dilakukan pasangan homo di Jerman itu. Geram sekali saya kepadanya.
Gambar: Pexels / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Childfree, Pasangan, Jerman, Anak,Transgender, Homo, Gay, India,
0 Komentar