Penggunaan singkatan nama, alias inisial, seharusnya menjadi penghalang orang untuk tahu mengenai isu-isu sensitif. Namun, lagaknya ada yang menggunakannya untuk kepentingan diri sendiri, maupun perusahaan medianya. Bukannya menyamarkan, malah membeberkan.
Kritik, Copa Media–Buat yang belum pernah mempelajari ilmu jurnalistik, saya kasih tahu. Di dalam keseharian di dunia pemberitaan, wartawan sebagai orang yang meliput, meramu informasi dari narasumber, kemudian diakhiri dengan menulis sebuah berita harus menaati peraturan yang berlaku dalam UU Pers, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Undang-undang itu mengatur segudang peraturan untuk diterapkan oleh para jurnalis dan perusahaan media massa.
Selain Undang-Undang, ada juga aturan main yang harus diterapkan dan dilarang untuk dilakukan oleh seorang jurnalis. Sekumpulan aturan ini dirangkum menjadi Kode Etik Jurnalistik.
Di Pasal 5 dalam aturan main tersebut, tertulis dengan tegas bahwa, "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila," di dalam penafsiran, dijelaskan bahwa, "Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.”
Peraturannya secara lugas tersampaikan dengan baik. Bahkan, bagi orang yang nggak punya keahlian mendasar jurnalisme sekalipun seharusnya dapat memahami makna dua kalimat tersebut.
Intinya, wartawan harus merahasiakan identitas korban pelecehan seksual dengan tidak menginformasikan identitasnya. Baik itu nama, alamat, tempat kerja, dan lain sebagainya. Penyamaran harus sesusah mungkin, agar korban bisa menenangkan dirinya tanpa perlu takut traumanya diketahui banyak orang.
Namun, dalam praktiknya di lapangan, beberapa wartawan yang menyamarkan identitas korban dengan cara yang salah, bahkan cenderung mengungkap identitas korban kejahatan susila.
Penulisan identitas seperti nama korban, nama orang tua, nama dan alamat rumah, kampung, desa, kantor atau sekolahnya harus disamarkan. Biasanya, nama korban diganti dengan sebuah inisial, sedangkan keterangan tempat dibuat seluas mungkin agar susah untuk dilacak.
Baru-baru ini ada kasus pelecehan seksual kepada seorang jurnalis yang meliput sebuah acara politik. Beberapa media menyebutkan inisial korbannya, nggak papa sih, memang inisial adalah huruf paling depan dalam nama, itu tertulis dalam pengertian kata "inisial" di KBBI. Namun, alangkah baiknya untuk menyamarkan lagi agar orang-orang nggak mendapat petunjuk mengenai siapa korban tersebut.
Saat magang kerja sebagai jurnalis di Semarang dulu, saya diberi ilmu oleh pimpinan redaksi (Pimred) di media cetak itu. Pak Aro namanya, nggak perlu saya inisial atau saya samarkan karena beliau sangat membimbing saya untuk terus memperbaiki kualitas tulisan saya. Beliau adalah sosok hebat.
Pada suatu waktu, beliau pernah mengajari saya, bahwa inisial nggak harus huruf depan dari kata yang paling depan. Kalau perlu, dipersulit lagi supaya yang tahu ya hanya jurnalis dan korban saja. Misal Muhammad Arif Prayoga diinisialkan menjadi AF. Sebuah hal kecil, namun bisa menolong jiwa korban yang sedang mengalami trauma.
Nah, di berita mengenai pelecehan jurnalis itu, saya menemukan sebuah kesalahan fatal. Salah satu media ternama tanah air menyebut tempat kerja sang jurnalis. Dengan penuh percaya diri, dirinya menyebut secara gamblang tempat korban menimba penghasilan. Padahal, dalam berita itu, tertulis bahwa korban lemas dan syok pasca terjadi pelecehan. Bisa-bisanya reporter sekelas media besar di Indonesia menayangkan itu?
Awalnya, saya berpikir bahwa reporternya masih muda dan minim pengalaman, sehingga belum paham betul terkait kode etik jurnalistik. Namun, anggapan itu segera terbantah setelah mengingat bahwa semua berita yang tayang di media online maupun media cetak harus melalui proses editing oleh seorang editor atau redaktur. Kalau reporter melakukan kesalahan, editor itulah yang seharusnya meralatnya. Pengalamannya di bidang jurnalisme sudah senior, seharusnya kesalahan fatal seperti ini nggak dianggap minor.
Saya jadi bertanya-tanya, kenapa reporter satu ini berusaha membeberkan rahasia di kala reporter lain berusaha menyembunyikannya? Kenapa editor media ini juga nggak merevisi kata tempat yang seharusnya disinyalir sebagai lokasi yang sensitif karena berhubungan dengan tempat kerja korban pelecehan? Apakah ada dendam pribadi antara jurnalis yang membocorkan tempat kerja korban dengan korban?
Banyak sekali pertanyaan yang harus diklarifikasi oleh jurnalis nggak beretika ini. Nggak perlu saya kasih tahu medianya apa, semoga segera direvisi sesuai kaidah jurnalisme yang berlaku.
Gambar: Marc Pascual / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Pelecehan seksual, Jurnalis, Fungsi, Menyamarkan, Inisial, Surat terbuka, Membeberkan,
0 Komentar