Kepemilikan uang rupiah koin yang sering dianggap uang receh membuat sang pemilik dilema, apalagi kalau jumlahnya banyak. Mau dibelanjakan takutnya dianggap nggak laku oleh para pedagang. Tapi kalau cuma disimpan, apa gunanya?
Keluhan, Copa Media–Sebagai nominal uang yang masih layak edar di kalangan masyarakat, uang koin yang bernilai mulai dari seratus dan dua ratus rupiah masih diendapkan di dompet oleh beberapa orang.
Nominalnya yang kecil di tengah inflasi harga barang yang kian melangit, uang-uang ini sering dianggap remeh dan diikhlaskan untuk didonasikan di minimarket.
Penggunaan uang koin biasanya disatukan menjadi nominal yang ada uang kertasnya. Misalnya koin seratusan, kalau saat memberikannya kepada pedagang tanpa diberi isolasi per seribu rupiah atau per lima ratus rupiah, kemungkinan besar uang itu akan ditolak beberapa pedagang dengan berbagai macam alasan. Alasan yang dominan adalah "gampang hilang".
Koin seratusan dan dua ratusan memang didesain lebih kecil dari pada dua koin lainnya, tujuannya adalah agar mudah untuk membedakan nominal secara sekilas tatapan mata.
Namun, bentuknya yang kecil dan rawan hilang, membuat sebagian pegawai fotokopian dan warung rumahan, alias toko kelontong menggantinya dengan permen. Itu pun, dihitung per lima ratus rupiah, atau setara 3 buah permen.
Penggunaan dua jenis uang koin itu memang sudah mulai dikurangi oleh para pedagang, padahal, statusnya masih sebagai alat tukar yang masih aktif dan belum dicabut dari peredaran. Selain karena ukurannya yang kecil dan mudah hilang, rasanya, nggak ada barang yang senilai dengan nominal uang ini.
Selain keberadaannya diganti dengan permen, beberapa pihak biasanya melakukan pembulatan, ada juga yang memberi rekomendasi untuk menyumbangkannya sebagai bentuk donasi.
Separah itukah eksistensi uang ini? Ya, paling nggak, itulah yang dirasakan oleh beberapa orang yang membalas cuitan pada akun fess di Twitter.
💚 Kalian kalo bayar sesuatu pake uang receh gini berani ga? pic.twitter.com/oYmYx40QhR
— Tanyarl ã…¡ 🚫 Rep OOT/JUALAN/LINK AFF (@tanyarlfes) February 13, 2023
Beberapa bahkan sampai terkoleksi banyak sehingga bingung harus ditukar ke siapa dan di mana. Ada yang berkeluh mempunyai setoples uang koin yang sudah nggak dianggap laku lagi di daerahnya.
Di satu sisi saya merasa miris dengan cuitan itu, namun di sisi lain saya juga bingung kalau menjadi pedagang yang menerima toples penuh uang koin itu. Pasti sangat lama dan butuh ketelitian ekstra untuk menghitung jumlah dan nominalnya.
Sebagai operator SPBU yang bisa dikatakan sebagai pedagang juga, saya pernah menerima uang-uang itu untuk pembelian bensin. Kata "pernah" saya gunakan karena memang sudah nggak saya bolehkan lagi karena sebuah alasan.
Bagaimana ya, selain karena menghitungnya yang merepotkan dan perlu banyak waktu, menyetorkannya dibuat susah oleh bank.
Di tempat saya bekerja, dulu ada seorang penjual keliling susu fermentasi yang sering membeli bensin dengan uang pecahan 100 hingga 200 rupiah. Sudah diisolasi dari rumah, tinggal dihitung saja per isolasi. Tapi kan, sebagai karyawan yang harus bertanggung jawab atas uang yang diberikan pelanggan, saya harus menghitungnya ulang.
Pas sih, saat dihitung, tapi saat disetorkan ke bank, pegawai bank mengatakan bahwa penyetorannya hanya diterima jika dikumpulkan per lima ratus keping pada masing-masing nominal. Padahal, bensin yang dibeli oleh penjual susu fermentasi keliling itu hanya Rp. 30 ribu dan uang koin yang diberikannya berupa campuran nominal seratus dan dua ratus. Kalau semuanya bernominal seratus rupiah saja nggak sampai 500 keping, apalagi campuran.
Setelah mengumpulkan uang koin dari pembelian beberapa kali oleh orang yang sama, terkumpullah lima ratus keping uang seratusan, ibu saya yang berlaku sebagai pengelola SPBU kembali mendatangi bank untuk menyetorkannya. Sesampainya di sana, koin-koin itu masih dicek ulang oleh pegawai bank satu persatu. Katanya, uang koin rawan dipalsu.
Setelah mengetahui bahwa seribet itu untuk menyetorkan uang dalam bentuk koin receh, ibu saya mengimbau untuk menolak saja pembelian bensin dengan uang receh ini.
Saya pun dengan berat hati menolak penjual susu fermentasi keliling yang pada awalnya berdalih menukar uang dengan bensin, lama kelamaan melunjak dengan hanya menukar uang saja.
Setelah imbauan penolakan itu, sisa uang yang belum mencapai 500 keping itu kabarnya masih tersimpan dan nggak tahu mau diapakan. Sepertinya hanya pegawai bank yang mau menerimanya, namun terlalu ribet kalau harus mengumpulkannya sebanyak itu.
Belum lagi kalau kedapatan ada yang palsu, bakal semakin ribet kayaknya karena berurusan dengan pidana.
Gambar: Harry Strauss / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Pemilik, Dilema, Keluhan, Koin, Uang receh,
0 Komentar