Dosa Pengisi Bensin di Pertashop Bapak yang membuat saya kesal


Opini, Copa Media–Setelah kemarin saya menyanggah tulisan Terminator yang memuji pelayanan Pertashop dengan dosa-dosa oknum operator Pertashop, nggak fair kalau saya hanya menyalahkan satu pihak saja. Memang, berdasarkan pengalaman study banding saya kemarin, beberapa operator kurang ramah dalam melayani saya. Tentu, ada hal yang mendasarinya.


Artikel ini pernah dikirim dan ditayangkan di Terminal Mojok dan telah memenuhi persyaratan untuk diunggah di media lain atas persetujuan penulis dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari setelah penayangan di Terminal Mojok.


Nggak mungkin orang kesal atau sebal tanpa adanya sebab. Hukum sebab akibat tetap berlaku, sekalipun untuk mood seorang operator Pertashop. Kemarin, saya tulis bahwa ada dua kemungkinan yang membuat suasana hati seorang operator Pertashop, masalah gaji dan  terlalu sepi sehingga terlena dengan hiburannya. Namun, itu adalah masalah internal yang harus diselesaikan oleh pengelola, maupun operator itu sendiri.


Sebagai faktor eksternal, ternyata para pembeli bensin di turut menyumbang sumpek-nya hati bagi saya yang cuan lewat pekerjaan ini. Fakta di lapangan saat saya bekerja, ada saja tingkah laku yang membuat saya sebal dari orang-orang yang mengisi bensin di Pertashop. Meskipun bisa saya pendam saat berhadapan, tapi rasa kesal tetap ada di dada. Berikut dosa-dosa mereka:


#1 Nggak ngecek dompet sebelum bilang isi bensin


Mengecek dompet sebelum bilang isi bensin kepada operator perlu dilakukan. Lebih baik lagi kalau dilakukan sebelum memulai perjalanan menuju tempat pengisian bensin. Karena kalau terlanjur mengantre tapi ternyata dompetnya kosong, kan malu sendiri jadinya. 


Kegiatan untuk mengetahui kapabilitas dalam membeli bensin ini sangat penting. Selain agar tidak menyebabkan rasa "Mak jegagik" di hati operator, dengan mengecek sisa uang di dompet membuat pengisi bensin tidak harus bolak-balik rumah kalau ternyata isi dompet tidak mumpuni untuk membayar bensin yang telah diisikan ke tangki kendaraannya.


Saya beberapa kali merasa was-was karena tangan pelanggan kusak-kusuk setelah saya isi bensinnya. Benar saja, setelah menyerah mencari sesuatu, dia bilang, "Maaf mas, uangnya kurang, tak pulang dulu ya ambil uang." Mak deg, sisi ramah saya ingin membolehkannya, namun sisi prekognisi saya khawatir dirinya nggak kembali lagi.


#2 Beli fulltank tapi ngatur-ngatur


Ada dua tipe pembeli bensin di SPBU. Tipe pertama, orang membeli bensin dengan menyebutkan nominal uang atau jumlah liter. Kedua, membeli hanya dengan bilang, "Full", "Full tank", dan "Penuh". Meskipun sebenarnya saya agak sebal kepada pembeli yang menyebutkan jumlah liter karena harga nggak bulat yang dipatok Pertamina, namun, orang-orang yang tergolong tipe pertama ini lebih asik dibandingkan beberapa oknum pembeli tipe kedua.


Sebenarnya sah-sah saja membeli full tank karena memang setiap mesin pompa di SPBU, Pertamini, maupun Pertashop mengizinkan untuk melayani pelanggan dengan tipe ini. Dengan tanpa memencet tombol, mesin pompa secara otomatis mengeluarkan bensin semau-maunya. Bahkan, sampai terkuras habis pun bisa.


Tapi, beberapa orang yang membeli penuh memaksa saya untuk terus menuang bensin ke tangkinya. Padahal, saya sebagai pelayan menganggap bahwa bensin yang saya isikan sudah lebih penuh dibandingkan dengan batas besi yang dibuat oleh pabrik motor. Terucap, "Terus mas, terus, lagi mas," sambil memberdirikan motornya, membuat benak saya ingin menyerahkan nozzle pompa sambil berkata, "Nih, isi sendiri!"


Ada pula yang memberdirikan motornya secara mendadak sehingga membuat gelombang bensin mencuat dari sarangnya. Ceceran bensin yang mbleber pun menggenang di bagian atas tangki, bahkan, masuk ke bagasi. Kalau sudah begini, kan ya saya perkewuh sendiri.


#3 Plin-plan ingin membeli bensin berapa


Menghitung uang di dompet sebelum membeli bensin juga penting agar tidak bingung mau mengisi berapa saat berhadapan dengan operator SPBU. Selain menimbulkan rasa sebal bagi pembeli yang mengantre di belakangnya karena memakan banyak waktunya, orang yang nggak ada kesiapan untuk bilang mau beli berapa ini juga menyusahkan operator


Pernah suatu ketika, saya melayani seorang ibu-ibu yang dibonceng motor oleh anaknya. Anak yang menjadi sopir menjawab ingin mengisi sepuluh ribu saat saya tanya, tapi si Ibu masih mengusek-usek tas belanjanya. Setelah saya pencet tombol mengisi sepuluh ribu, saya arahkan nozzle ke lubang tangki bensin, belum saya sempat mengisi, ibunya bilang, "Lima belas wae mas". Oke, saya berusaha sabar sambil mereset dan memencet ulang tombol di pompa. Ketika hendak saya isi lagi, ibunya mengganti lagi, "Eh, dua puluh deng mas." Rasanya saya seperti dipermainkan.


#4 Sudah diisi baru tanya jenis bensin


Beberapa orang yang datang ke Pertashop hanya untuk celingak-celinguk melihat atap modular lalu pergi dengan kecepatan tinggi. Meskipun nggak berkata apapun, saya tahu maksud dan tujuannya, yaitu melihat tulisan Pertamax atau Pertalite yang biasanya ada di bagian atas pompa di SPBU. Di Pertashop, memang tulisan itu nggak terpampang di atas pompa, tetapi ada di papan harga yang terpasang di pinggir jalan beserta harga per liternya.


Ada juga yang bertanya, meskipun lebih sopan karena tidak membuat saya tertipu saat berdiri hendak melayani, eh ditinggal pergi. Tapi, dengan bertanya jenis bensinnya apa padahal tertulis di papan harga malah menunjukkan kedaruratan membaca bagi si pengendara. Kalau ditanya, saya akan menjawab, "Adanya Pertamax mas," sambil menunjuk totem, alias papan harga.


Namun, ada yang lebih parah lagi. Ada orang yang ketika sudah proses pengisian baru bertanya, "Ini bensin jenis apa ya mas?" Ketika saya jawab Pertamax, dia yang awalnya membeli full tank lantas memaksa saya untuk segera menghentikan pengisian.


Saya meminta izin untuk membuat hitungan pas karena saat itu angka yang tertampil di mesin pompa sangat nanggung, namun tidak dibolehkan. Al hasil, saya rugi beberapa ratus rupiah. Kecil sih, tapi saya nggak ikhlas!


#5 Membeli tanpa suara


Memang beberapa orang diberi kekurangan tidak bisa berbicara, saya paham, tapi bukan mereka yang saya maksudkan. Saya tahu beberapa pelanggan saya adalah tuna wicara, saya perlakukan mereka sebagaimana pelanggan lain seolah mereka bisa mendengar saya. Saya melayani mereka dengan tambahan menunjuk layar monitor di pompa untuk menegaskan berapa jumlah bensin yang hendak dibelinya.


Namun, pernah suatu ketika ada seorang mbah-mbah, dia membeli bensin hanya dengan mengacungkan satu jari telunjuk. Saya tanya kepadanya satu liter atau sepuluh ribu, dia tidak menggubris saya. Oh, kayaknya mbah-mbah ini tuna rungu, sehingga saya harus melayaninya seperti penderita gangguan pendengaran lainnya dengan menunjuk monitor di pompa. Eh nggak digubris sama dia, malah tetap kekeh dengan satu jari telunjuknya.


Ya sudah, saya isi satu liter. Pas sudah saya isi, lha kok dia menyodorkan uang sepuluh ribu, padahal harga satu liter adalah Rp. 13.900 saat itu. Nggak mau rugi, saya tagihlah dia kekurangannya sambil menunjuk papan harga. Eh, malah bilang, "Lha di sana kemarin sepuluh ribu,"


Batin saya, "Lha itu bisa bicara, kenapa harus pakai jari tangan saja?" Mana saya dianggurin pula saat menanyakan kejelasan terkait makna satu jarinya. Sungguh mbah-mbah yang menyebalkan. Kayaknya perlu terjemahan khusus untuk mengetahui maksud dan tujuan simbah tersebut.


Gambar: Erik Mclean / Pexels

Penulis : Muhammad Arif Prayoga 


Tags: Kesal, Dosa, Sebal, Pembeli bensin, Pertashop,

Posting Komentar

0 Komentar