Pengadaan KTP digital digadang menjadi sebuah solusi terkait sejumlah masalah yang katanya nggak bisa diatasi oleh e-KTP. Namun, digitalitas yang berlindung di balik "lubang buaya" bukankah lebih layak disebut bunuh diri?
Kritik, Copa Media–Baru-baru ini pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) memulai perpindahan KTP yang sebelumnya berwujud cetak ke wujud digital yang bisa diakses melalui ponsel. Dengan melakukan beberapa langkah saja melalui aplikasi Identitas Kependudukan Digital (IKD) dan verifikasi petugas, KTP yang berbentuk digital itu bisa didapatkan oleh masyarakat.
Meskipun masih dalam masa uji coba dan belum diwajibkan. Namun, kedepannya pasti akan wajib, anggapan saya ini muncul setelah membaca kepercayaan diri pemerintah dalam sebuah berita yang berjudul, "Pemerintah Setop Bertahap Blangko e-KTP, Diganti dengan KTP Digital."
Saya setuju digitalisasi dalam hal apapun. Sebagai generasi yang hidup di era digitalisasi, memang kegiatan apapun menjadi lebih mudah dan simpel untuk dilakukan. Contohnya adanya e-commerce dan ojek online alias Ojol. Dua aplikasi ini sangat memudahkan dan membuat simpel sesuatu yang dulunya nggak bisa dilakukan hanya dengan rebahan di kasur. Namun untuk KTP, sepertinya belum terlalu mendesak untuk mengubah bentuknya dari nyata ke maya deh.
Berkaca dari kasus tukang becak dan BCA
Kebijakan baru tentunya nggak akan terbentuk jika nggak ada peningkatan dalam fungsi. Begitu pula dengan ambisi pemerintah untuk membuat KTP digital ini. IKD atau KTP digital memiliki beberapa kelebihan, yakni penggunaannya yang lebih simpel, proses pembuatannya lebih cepat, nggak perlu dicetak menggunakan blangko, nggak perlu disimpan di dalam dompet, cukup disimpan di dalam smartphone, nggak perlu ada fotokopi KTP untuk mengakses layanan publik, lebih aman (katanya) dari pemalsuan data penduduk, serta nggak ada lagi masalah KTP hilang (News.detik, 2023).
Kalimat, "Lebih aman dari pemalsuan data penduduk," ini perlu saya beri tanda kurung "katanya". Bagaimana tidak, kasus tukang becak rampas saldo nasabah BCA ratusan juta yang dianggap sebagai kelalaian korban yang ramai beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa tanpa memalsukan data pun, penjahat itu masih bisa mengelabui pegawai bank hanya dengan kesamaan muka yang katanya bahkan nggak mirip-mirip amat. Nah, lebih aman yang dimaksud dari segi apa?
Apakah keamanan yang diperbaharui ini akan menjamin setiap teller bank akan jeli membedakan foto yang ada di KTP dan nasabah palsu yang kebetulan punya akses terhadap KTP dan rekening korban yang dijahatinya? Diperlukan verifikasi wajah terlebih dahulu untuk menggunakannya? Halah, selain ribet, manusia yang punya mata buatan tuhan saja bisa tertipu, apalagi teknologi buatan manusia.
Keberadaan chip pada e-KTP yang mulai jelas kegunaannya
Beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah cuitan di Twitter, lupa saya kasih hati jadi saya nggak bisa menampilkan tautannya. Intinya, pada tweet tersebut, terbukti bahwa beberapa fasilitas telah mempunyai perangkat untuk melakukan scan terhadap e-KTP. Tentu saya lumayan relate dengan cuitan tersebut terlebih setelah menjajal teknologi itu. KCP Bank BCA di Kabupaten Sragen juga sudah menggunakan teknologi itu untuk pembuatan rekening. Canggih!
Dari cuitan tersebut, terbukti bahwa niat pemerintah membubuhkan chip di dalam blangko KTP elektronik berangsur jelas kegunaannya. Namun, persebaran teknologinya masih kurang merata. Balasan cuit itu rata-rata menyatakan bahwa fitur ini aktif di beberapa bank sebagai bentuk keamanan dalam hal finansial yang sangat sensitif. Apalagi di negeri yang masih berkembang dan masih banyak kekurangan di sektor ekonomi, bahkan menduduki podium jumlah korupsi tertinggi di jajaran G20.
Kurang memaksimalkan penggunaan chip
Saat ini instansi-instansi masih mengandalkan fotokopi KTP sebagai kunci untuk mendapatkan beberapa fasilitas. Meskipun hal ini juga diklaim sebagai kekurangan yang akan diperbaiki dalam gagasan untuk migrasi dari KTP elektronik ke digital, tapi menurut saya ini agak aneh. Apa nggak lebih baik melakukan sosialisasi terkait penggunaan teknologi untuk mendeteksi chip daripada membuat gagasan baru?
Instansi pemerintah yang notabene adalah bawahan langsung pemerintah pusat masak nggak tahu cara pemakaian e-KTP yang baik dan benar sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah bank? Bank yang di Sragen itu BCA loh, bank swasta, bukan BUMN, masak mereka yang lebih tahu daripada pemerintah yang membuat sekotak identitas diri itu?. Bagaimana sih?
Berlindung di dunia maya yang ganas
Ini nih, yang menurut saya agak terlalu percaya diri. Aplikasi IKD tentunya menggunakan server dan memerlukan internet. Padahal, keamanan siber di negara Indonesia ini dikatakan sangat minim dan rentan kata pakar siber yang menjadi narasumber di Podcast Close The Door saat isu Bjorka mencuat ke publik. Kalau akhirnya KTP ini disimpan dalam server yang katanya keamanannya nggak terjamin, apa nggak dibobol lagi nantinya?
Saya nggak ngerti tentang coding, apalagi hacking. Blas, nggak tahu saya. Namun, sebuah cuitan di Twitter menjelaskan bahwa beberapa website yang dikelola pemerintah saat ini kondisinya memprihatinkan. Situs yang dengan domain go.id banyak yang disusupi oleh promosi situs judi. Sebuah kelalaian Kominfo yang sangat perlu dibenahi. Kalau mau tahu lebih rinci, silakan kunjungi utas berikut. Miris bukan?
Pada tahun lalu, sempat mencuat kabar bahwa seorang anak magang menyebarkan pengalamannya bahwa isi dari Kominfo adalah pegawai yang gagap teknologi, alias gaptek. Awalnya saya ragu dengan informasi itu, masak iya, instansi yang memfasilitasi dan menaungi keamanan siber bisa diisi oleh orang-orang yang nggak mengerti tentang teknologi?
Namun, setelah membaca utas itu, keraguan saya berbalik kepada pemerintah. Kalau keamanan siber seburuk itu sampai situs resmi pemerintah kebobolan, apa pantas membuat proyek KTP digital yang pastinya nggak jauh-jauh amat dari masalah keamanan siber? Yakin nggak ada kebocoran data di kemudian hari? Bukankah ini lebih seperti analogi berlindung di balik lubang buaya? Bunuh diri namanya!
Lebih baik ditingkatkan daripada buat masalah baru
Hanya sekadar saran, nggak tahu dibaca atau nggak, apalagi diterapkan. Daripada getol menggagas pembuatan KTP digital yang keamanannya masih awang-awang, lebih baik apa yang sudah ada ditingkatkan saja. Fitur scan chip e-KTP yang sudah ada di beberapa fasilitas umum kalau dimaksimalkan penggunaannya bisa membuat pelayanan publik menjadi aman dan lebih baik. Nggak perlu fotokopi KTP lagi.
Masalah ketersediaan blangko seharusnya tidak menjadi masalah. Kalau pembuatan kartu-kartu lain yang juga menggunakan blangko seperti kartu tanda mahasiswa (KTM), kartu debit, kartu kredit, kartu pelajar, kartu anggota organisasi, dan lain lain masih bisa didapat dengan mudah, berarti masalahnya bukan pada blangkonya.
Kalau masalahnya ada di biaya, ya maaf, saya nggak bisa bantu apa-apa. Namun, lebih baik sedikit menggelontorkan biaya namun disertai dengan fitur keamanan canggih yang lebih terjamin daripada mencoba peruntungan di teknologi yang pihak berwenang pun belum sanggup untuk mengawasi. Tapi ya harus diawasi dengan ketat, takutnya ada orang-orang yang terinspirasi oleh Setya Novanto untuk korup terhadap pengadaan e-KTP.
Gambar: Steve Buissinne / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Gebrakan, KTP digital, Kominfo, Disdukcapil, Kebocoran data,
0 Komentar