Kelompok kriminal bersenjata (KKB) dalam aksinya tidak mencerminkan perilaku berkemanusiaan, lantas kenapa politik internasional melarang penggunaan senjata yang katanya nggak berkemanusiaan ya?
Militer, Copa Media—Baru-baru ini kabar kekejaman KKB kembali menggegerkan publik terkait aksinya di Provinsi Papua Pegunungan, tepatnya di Kabupaten Nduga. Sebuah pesawat komersial Susi Air, milik mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti dibakar dan disandera para penumpangnya.
Kebengisan kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris ini bukan yang pertama kali. Rentetan aksi nggak manusiawi datang secara terus-menerus dari kelompok satu ini. Bahkan, warga nggak berdosa sering menjadi sasaran kekejaman mereka.
Mungkin, karena mereka merasa nggak percaya diri kalau berhadapan dengan angkatan bersenjata dalam negeri. Rasa pesimisnya diluapkan kepada warga sipil yang nggak mungkin bisa melawan. Sudah sepantasnya mereka ditindak tegas, namun, penumpasan mereka sangat terikat dengan hukum kemanusiaan internasional.
Saya pernah membaca di suatu media, sebenarnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) punya senjata ampuh untuk menumpas pergerakan mereka. Sebuah helikopter berteknologi canggih yang bisa ditembakkan membabi buta ke hutan tempat mereka bersembunyi dan membangun markas mereka.
Namun, Amerika Serikat yang berlagak seperti pemimpin para negara melarang penggunaan helikopter ini. Larangan ini disertai dengan ancaman embargo penyediaan sparepart alutsista jika melanggar aturan yang dibuat tanpa melihat kebengisan KKB yang dilakukan di Papua sana.
Embargo ini pernah dirasakan oleh Indonesia saat melawan teroris yang memperjuangkan kemerdekaan Timor-Timor yang kini telah berdiri sebagai Timor-Leste. Saat itu pemerintah menindak mereka dengan tegas, namun statusnya sebagai pemberontak seolah dibela oleh politik internasional sehingga Indonesia pun mau tak mau akhirnya mengalah.
Pemerintah Indonesia sepertinya sudah dibuat kapok oleh larangan sepihak dari politik internasional ini. Seolah, negara-negara lain menutup mata dengan kekejaman kelompok meresahkan ini terhadap TNI dan Polri selaku penjaga kedaulatan dan keamanan, serta warga sipil yang menjadi korban karena nggak punya cukup kekuatan.
Saya tahu, tulisan saya ini berpotensi untuk dikecam oleh orang-orang yang benar-benar paham peri kemanusiaan. Tetapi, bukankah KKB dalam tindakannya sudah mengabaikan rasa kemanusiaan? Bukankah hatinya sudah membatu dengan segenap upaya pemberontakan dengan kekerasan yang bertujuan memisahkan diri dari negara republik ini?
Pemerintah Indonesia kurang baik apa coba? Apa mata mereka buta untuk sekadar membaca berita-berita tentang negara tetangga yang dulunya getol memisahkan diri itu? Banyak berembus kabar bahwa kemiskinan mereka bahkan tidak cukup layak untuk disebut sebagai negara. Mau seperti mereka?
Ayolah, Negeri Paman Sam. Kalau melarang penggunaan senjata canggih, ya, tolong kasih solusi yang solutif. Jangan cuma asal melarang saja dan malah membuat pemerintah Indonesia menjadi serba salah dibuatnya. Menyerang dianggap kejam, bertahan persenjataan yang dianggap manusiawi dianggap nggak beres dalam menumpas, didiamkan malah mereka melunjak.
Memanusiakan manusia yang nggak berperikemanusiaan menurut saya nggak setimpal dengan korban-korban yang telah berjatuhan yang kian bertambah seiring waktu. Selain menumpasnya, apa yang bisa dilakukan? Saya yakin betul komunikasi nggak akan berjalan dengan baik selama yang dibicarakan tidak menguntungkan dan sesuai dengan tujuan mereka, yakni memisahkan diri.
Entah mendapat bekingan dari mana sampai-sampai permasalahan penumpasannya saja harus dibela oleh politik internasional. Kepastian mengenai siapa yang ada dibalik keinginan merdeka dan pasokan senjata teroris meresahkan ini harus segera terungkap. Supaya boroknya diketahui oleh publik internasional, kalau perlu ada unjuk rasa massal atas normalisasi kekejaman tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh pihak pendukung itu.
Gambar: tprzem / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Politik internasional, KKB, Peri kemanusiaan, kemanusiaan, OPM, Papua,
0 Komentar