Agama, Copa Media—Bagi saya yang merupakan rakyat jelata, masjid yang ada fasilitas Jumat Berkah selalu menjadi pilihan utama saya sebagai tempat untuk menunaikan ibadah Jumatan. Nggak tahu kenapa, saya merasa lebih tertarik ke masjid itu dibandingkan dengan masjid lain yang tidak ada konsumsinya.
Jumat Berkah, adalah salah satu penerapan ilmu marketing yang dilakukan oleh takmir masjid dan dibantu oleh donatur-donatur yang ikhlas merogoh kantongnya. Tujuannya adalah mengundang orang-orang untuk semangat datang ke masjid untuk Salat Jumat.
Variasinya beragam, masjid satu dan masjid yang lain punya style sendiri-sendiri dalam menentukan konsumsi. Masjid di belakang kampus saya dulu menyediakan nasi bungkus dan gorengan. Nasi bungkusnya saya sering dapat, tapi gorengannya ini yang nggak pernah sempat.
Gimana ya, gorengan itu datang secara terpisah dari kedatangan nasi bungkus yang kayaknya sudah ditaruh di emperan masjid saat Salat Jumat berlangsung. Gorengan baru datang dibawa orang menggunakan keranjang buah langsung diserbu jamaah. Kasihan yang bawa keranjangnya, sudah kayak dikerubungi zombie yang kelaparan.
Kalau di masjid dekat rumah orang tua saya, lebih bervariasi lagi, ada nasi yang dibungkus dengan kertas minyak, ada yang dibungkus dengan daun pisang, ada yang bungkusnya menggunakan mika, dan ada juga bubur yang dikemas dalam seplastik gelas. Kalau saya sih, jujur, lebih suka mengambil bubur atau makanan yang wadahnya mika kalau lagi jumatan di sana. Soalnya saya lebih memilih yang pasti-pasti saja, kalau yang bungkusan kan saya nggak tahu apa isinya, nggak kelihatan.
Nah, kalau di masjid dekat tempat saya tinggal style Jumat Berkahnya roti-rotian pabrikan rumah tangga. Paling sering sih roti isian coklat yang merknya "Sri Roti". Walaupun saya baru ngeh kalau namanya kayak parodi satu merk roti terkenal, saya bodoamat. Yang penting produknya terdaftar di BPOM dan punya nomor PIRT dan label halal MUI. Rasanya pun cocok-cocok saja di lidah saya.
Dari tiga masjid yang saya survey ada Jumat Berkahnya itu, saya mendapatkan kesimpulan yang mungkin nggak disadari donatur, atau mungkin disadari tapi nggak mau tahu. Mungkin bagi mereka "yang penting pahalanya." Temuan saya mengakatan, bahwa disediakannya Jumat Berkah ini sebenarnya tidak mengundang orang dewasa yang benar-benar hendak jumatan untuk datang ke masjid tersebut.
Orang dewasa, mah, tetap datang ke masjid manapun yang dianggapnya paling dekat. Wong kalau nggak jumatan 3 kali dianggap murtad. Sebenarnya yang terundang dengan adanya program ini tidak lain dan tidak bukan adalah bocil-bocil meresahkan.
Mereka datang ke masjid bukan untuk beribadah. Pas saatnya khutbah mereka bergerombol berisik di pojokan teras masjid. Kalau saya agak telat dan kedapatan saf di luar masjid, gumam canda tawa mereka bahkan lebih keras dibanding suara speaker dalam masjid yang menjadi media pak Khotib sebagai pengeras suara agar didengar para jemaah. Pas saatnya salat, mereka malah berlarian sana-sini mengganggu ketenangan hati saat menghadap ilahi.
Setelah kedua salam yang diawali oleh imam dan diikuti oleh para makmum, mereka lari terbirit-birit kayak setan dibacain ayat kursi. Tanpa zikir apa lagi doa, mereka langsung meringsek keluar melewati jemaah yang sedang khusyuk memanjatkan doa. Apalagi kalau bukan runtuk rebutan Jumat Berkah, usak usek mencari makanan terbaik yang disiapkan oleh para donatur.
Meskipun kalau dipikir perebutan Jumat Berkah ini kurang kondusif, namun jumlah yang disiapkan oleh donatur lebih dari cukup. Saya yang keluar agak tengah-tengah saja–nggak buru-buru kaya mereka tapi juga nggak selama para sesepuh dalam memanjatkan doa–masih bisa mengambil dua roti untuk saya dan istri. Meskipun saat perjalanan pulang saya melihat para bocil ini sudah mendekap erat banyak roti di dadanya dan sebenarnya stoknya masih banyak, saya cuma ambil dua. Sesuai kebutuhan saya saja.
Kondisi mulai kurang kondusif ketika Jumat Berkah yang biasanya roti-rotian tiba-tiba diganti dengan menu yang menurut saya lumayan mewah. Pernah suatu ketika, saya datang rada terlambat ke masjid, tapi khotib masih berkhutbah. Ketika saya memasuki teras masjid, saya terkesima dengan tumpukan sterofom yang tertata rapi di pelataran masjid. Batin saya, "Wah makan siang enak," sambil masuk ke dalam masjid mencari saf yang paling dekat dengan pintu keluar.
Baru selesai salam, bocil-bocil yang kayaknya juga berpikiran sama dengan saya, seperti biasa, menggeruduk sajian makanan itu. Saya yang awalnya ingin ikut berebut demi makan siang enak mengurungkan niat saya setelah ada perseteruan antar bocil. Terjadi perkelahian di luar masjid yang saya dengar ketika sedang berzikir. Selepas zikir, saya keluar dan melihat tumpukan sterofom sudah lenyap.
Saat saya keluar dari masjid, saya seperti biasa mengambil dua roti. Sambil kedua tangan saya fokus mengambil roti apa saja yang penting roti, saya melihat perkelahian urusan makanan antar bocah itu masih terjadi. Di situ, saya juga melihat seorang bocil yang mengoreti sisa-sisa makanan yang tertinggal di kardus yang ternyata adalah nasi ayam krispi.
Gagal niat saya untuk makan enak di siang hari, tapi nggak papa, mendapatkan dua roti setiap hari jumat adalah hal yang patut disyukuri. Pesan saya untuk para pendonasi Jumat Berkah, kalau menyumbang makanan sesuai dengan biasanya apa saja. Jangan menaruh menu lain yang lebih istimewa karena yang terjadi bukan berebut pahala dengan berbondong-bondong ke masjid, tapi berebut Jumat Berkah yang bahkan harus didapatkan dengan cara berkelahi.
Gambar: Jörg Peter / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Jumatan, opini, Salat Jumat, Konsumsi, Hari Jumat, Jumat berkah,
0 Komentar