Nestapa Menjadi Petugas Pencatat Meteran Perusahaan Air Minum Desa



Menjadi petugas pencatat meteran PAM desa, saya nggak punya fasilitas memadai sebagaimana petugas PDAM. Semuanya dilakukan dengan serba kesederhanaan. Saya pun harus menanggung akibatnya.


Curhat, Copa Media–Di daerah-daerah tertentu, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) nggak bisa menjangkau ketersediaan air bersih. Beberapa di antara mereka memilih untuk mengebor sumur untuk kebutuhan air mereka. Namun, sebagian nggak mampu untuk mengebor sumur karena alasan ekonomi maupun masalah lainnya.


Di tempat tinggal saya, sebenarnya sudah ada saluran pipa milik PDAM. Namun, karena kontur perumahannya yang miring dan nggak rata maka ketersediaan air di rumah saya yang posisinya di atas terkadang nggak terpenuhi. Biasanya sih pagi hari, air keran macet, padahal waktu sekolah menuntut untuk cepat-cepat.


Beberapa tahun lalu, pemerintah memberi bantuan kepada masyarakat berupa dana pembangunan sumur dalam yang bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar. Meskipun ada lambang PUPR yang mirip dengan logo Cap Kaki Tiga, namun pengelolaan terhadap sumur ini diserahkan kepada warga desa itu.


Ibu saya yang punya sedikit lahan kosong yang letaknya di perumahan bagian atas. Tanah tersebut kini telah dihibahkan untuk keperluan pembangunan PAM desa. Setelah melalui beberapa kali musyawarah dengan pelanggan yang sudah mendaftarkan diri, disimpulkan bahwa beberapa hak diberikan sebagai apresiasi kepada penghibah. 


Hasil musyawarah itu, pemilik tanah berhak mendapatkan air bersih secara gratis dan kalau sumur itu tidak berfungsi lagi maka tanah akan kembali kepada pemilik aslinya. Dalam musyawarah itu juga dibahas bahwa urusan pencatatan dan penghitungan tarif diserahkan kepada saya dengan imbalan Rp. 300 ribu perbulannya. 


Kayaknya mudah, cuma keliling kampung mendatangi 100an pelanggan, namun ternyata nggak semudah itu. Beberapa kesulitan yang saya temui selama menjadi pencatat meteran PAM desa antara lain:


Meteran nggak bisa dijangkau 


Perumahan yang menjadi tempat tinggal saya ini nggak kayak perumahan-perumahan lainnya. Kalau biasanya rumah-rumah dalam sebuah perumahan memiliki bentuk atau tipe yang sama antara satu dan lainnya, di sini sudah banyak yang dimodifikasi.


Ada yang menambahkan gerbang besi yang sangat tinggi, ada juga yang menambahkan dinding baja ringan di area pelatarannya. Sebenarnya nggak papa sih. Toh, itu rumah mereka. Tapi ya mbok kalau pasang meteran PAM desa di luar gerbang atau tembok itu saja! Kalau nggak bisa saya jangkau meterannya, bagaimana saya bisa mencatatnya?


Selain itu, ada pula yang menutup meteran dengan kandang ayam dan tanaman hidroponik yang ditanam dalam tumpukan pipa. Sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah monopod, saya diharuskan untuk mengangkat kandang dan merangkak masuk ke bawah pipa tanaman hidroponik itu. Gini amat yak demi Rp. 300 ribu.


Menjadi Humas dadakan


Kalau ada meteran yang angkanya ngaco, atau ada pipa yang bocor di tengah jalan, saya selalu menjadi Humas yang bertanggung jawab atas keluhan itu saat sedang keliling. Padahal, seseorang yang ditunjuk sebagai teknisi sudah disosialisasikan saat rapat perdana kepada pelanggan. 


Nomornya lengkap, alamat rumahnya jelas, dan pelaporan bisa dilakukan kapan pun dengan mendatanginya atau menghubunginya melalui WhatsApp. Alih-alih komplain ke sana, mereka malah menunggu saya keliling yang padahal hanya sebulan sekali. Kalau kebocorannya terjadi setelah saya keliling dan dilaporkan bulan depannya, ya boncos lah pengelolanya!


Beberapa bahkan menyudutkan saya mengenai tarif yang katanya terlalu mahal. Lah, kan kalian juga ikut rapat, kalau merasa mahal, kenapa nggak disampaikan saat rapat? Kok malah saya yang disalahkan? Dasar pelanggan aneh!


Berjibaku dengan peliharaan dan ternak


Ada juga yang memelihara anjing di rumahnya. Ya, meskipun meterannya ada di luar pagar sedangkan anjingnya ada di dalam teras rumah yang dipagar, namun anjing itu tetap mengganggu pencatatan saya.


Suaranya yang berisik dari jarak dekat membuat telinga saya benging dibuatnya. Selain itu, gudalnya yang bau busuk juga sangat mengganggu, sehingga membuat saya ingin segera menjauh dari rumah itu.


Ada juga yang menaruh meterannya di dalam kandang angsa. Memang saya belum pernah disosor angsa, namun saya sangat takut dengan posturnya yang tinggi dan besar. Apalagi, katanya mereka bakal mengejar kalau terganggu. Kata Upin-Ipin di salah satu episodenya sih, nggak tahu bisa dijadikan alasan takut atau nggak.


Meteran nggak jelas


Meteran yang dipasang pada pelanggan PAM desa nggak sebagus yang dipasang oleh PDAM. Teknisi kami hanya membelinya dari toko bangunan biasa, tentunya minimalitas harga menjadi preferensi pada saat pembelian barang. Nggak terlalu bagus, namun masih bisa berfungsi dan nggak membengkak di catatan neraca laba rugi yang dibuat pengelola.


Nah, meteran-meteran murahan ini kalau setelah diguyur hujan biasanya memunculkan embun yang menutupi angka di flow meter. Akibatnya, pencatatan menjadi terhambat karena angka penggunaan air yang bersatuan meter kubik itu nggak bisa dibaca. 


Alhasil, ya, harus didatangi lagi saat cuaca panas. Kalau hujan terus, ya mau nggak mau direkayasa dengan harga kubik minimum 20 meter kubik. Toh, dipakai nggak dipakai pelanggan tetap harus bayar kubikasi minimum seharga Rp. 25 ribu itu. Tapi, akhir akhir ini kami menemukan solusinya dengan memanaskan meteran yang berembun dengan tembakan pemantik api.


Pelanggan yang minta rekayasa


Ini nih yang paling menyebalkan. Namanya Pak Budi, sekalian saja saya beberkan. Saat saya mendatangi rumahnya untuk mencatat meteran PAM desa, dirinya selalu meminta saya untuk merekayasa penggunaan air. Wajahnya yang intimidatif dengan postur tinggi besar membuat saya takut dan terpaksa memenuhi permintaannya. Namun, saya nggak berani melaporkannya kepada jajaran pengelola.


Suatu saat, Pak Budi hendak membayar tagihan. Namun, dia malah mencurigai adanya kecurangan di pihak pengelola dengan menunjukkan perbedaan angka penggunaan pada bukti pencatatan stan meter yang saya serahkan kepada pelanggan saat keliling dengan angka yang ada ditampilkan dalam kwitansi. Saya akui bahwa saya nggak berani mengganti angka di bukti pencatatan yang sudah dia pegang saat pencatatan berlangsung, saya hanya mengganti di data pelanggan yang saya bawa pulang untuk dihitung tarif bulanannya.


Dia menuduh saya melakukan kesalahan pencatatan. Saya yang akhirnya dipanggil ke situ nggak tinggal diam dan membeberkan kebobrokan pola pikirnya. Akhirnya dirinya dikasih peringatan oleh pengelola. Huh, ada-ada saja Pak Budi ini.


Gambar: delo / Pixabay

Penulis : Muhammad Arif Prayoga


Tags: Nestapa, PAM desa, Stan meter, Petugas pencatatan,





Posting Komentar

0 Komentar