Nestapa Takdir Anak Terakhir yang Sering Dianggap Paling Bahagia

 

Steve Bidmead / Pixabay


Banyak anggapan bahwa anak terakhir dibekali dengan banyak sekali privilese dalam kehidupannya. Namun, sebagai insan yang menyandangnya, saya malah ingin terlepas dari belenggu kebebasan ini.


Artikel ini pernah dikirim dan ditayangkan di Terminal Mojok dan telah memenuhi persyaratan untuk diunggah di media lain atas persetujuan penulis dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari setelah penayangan di Terminal Mojok.

Copa Media–Penyandang gelar "ragil", sebuah penyebutan dalam bahasa jawa untuk anak yang terlahir terakhir dalam keluarga, seringkali identik dengan dimanja dan dibanggakan. Terkadang, keberadaan mereka dianggap sebagai tanda bahwa diskriminasi di dalam keluarga memang ada dan dianggap lumrah terjadi.


Kebahagiaan yang dirasa anak terakhir dianggap lebih banyak, bahkan terkesan berlebihan, jika dibandingkan dengan saudara kandung lainnya. Mungkin anggapan ini datang dari para kakak akibat rasa iri, atau mungkin dengki. Padahal, ada juga sisi buruk dari gelar yang saya peroleh sebagai satu dari sekian anak ragil di dunia ini. Apa saja itu?


Dianggap paling nurut


Hal yang mungkin nggak kakak-kakak saya tahu, sebagai seorang anak terakhir, saya selalu merasa iba ketika kedua orang tua saya sedang kesusahan. Rasa simpati dan empati saya sampaikan dengan memberikan bantuan atas rasa susah tersebut. Boro-boro kakak saya membantu, dipanggil saja kadang nggak mau datang.


Kejadian ini nggak terjadi satu kali, melainkan terus berulang, bahkan sampai kini. Akibatnya, tersemat dalam diri saya dan mungkin anak ragil lainnya di dunia bahwa kami adalah anak yang dianggap paling nurut. Apapun apa yang kalian pikirkan, apa nggak ada sedikitpun rasa iba di benak kalian sampai-sampai nggak mau membantu orang yang sudah melahirkan kalian?


Memang terkadang para orang tua ini berbuat salah. Kalau mereka berbuat salah, pasti timbul di benak saya dan kalian untuk membantah. Tapi, nggak berarti semua yang diminta mereka perlu dibantah bukan? 


Kalau sudah muncul rasa jera di pikiran orang tua untuk meminta pertolongan kalian, siapa yang akhirnya bertanggung jawab? Saya, Mas, Mbak. Nggak papa sih sebenarnya, tapi bukankah lebih baik kalau diatasi bersama-sama? Bukan cuma saya saja. Ya nggak sih?


Dituntut untuk serba bisa


Sebagai anak yang dianggap sebagai si paling penurut, kami, para anak ragil dituntut untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Padahal, semua manusia punya batasan masing-masing dalam hal keterampilan dan kemampuan. Tuntutan ini datang sebagai imbas dari takdir kami yang menjadi anak yang terakhir meninggalkan rumah orang tua. Karenanya, kami dituntut untuk serba bisa.


Pernah suatu ketika, saya ditugaskan untuk menjaga ternak selama orang tua saya pergi umroh. Kakak pertama saya tengah merantau di Kota Surabaya, sedangkan kakak kedua saya ada di rumah, tapi nggak ditugasi. Kalaupun ditugasi, ibu saya merasa bahwa kakak saya itu akan sanggup menolak. Karena memang biasanya menolak suruhan dengan berbagai macam alasan.


Selain itu, saya juga dituntut untuk bisa mengoperasikan aplikasi komputer seperti Microsoft Word, Excell, dan Power Point (karena kebetulan ibu saya adalah guru gaptek, alias gagap teknologi di era digitalisasi profesi), memperbaiki printer, menyetir mobil, bisa bergaul dengan ibu-ibu rewang ketika ada acara di rumah, dan lain sebagainya. Semua-semua harus bisa di kala para kakak nggak mau menunjukkan batang hidungnya.


Memantik api kecemburuan sosial


Kata anak emas sering diidentikkan sebagai seorang yang mendapatkan fasilitas lebih dibandingkan dengan anak lainnya. Kata ini bahkan melebar dari artian aslinya. Kini, kata ini juga digunakan sebagai analogi dalam sindiran kepada pihak yang diskriminatif dan disandingkan dengan lawan katanya, yakni anak tiri.


Di satu sisi, memang menyenangkan bisa memperoleh privilege sebagai anak emas. Namun, di sisi lain saya juga nggak mau mengemban mantel ini. Bagaimana ya, saya ingin semua anak di keluarga ini diperlakukan secara sama. Dengan begitu, kecemburuan sosial antara anak satu dan yang lain nggak perlu terjadi. 


Kalau sudah cemburu, ujung-ujungnya kami sebagai yang paling lemah merasakan imbas menjadi korban kekerasan. Pernah suatu ketika saya bertengkar dengan kedua kakak saya saat kedua orang tua saya bekerja. Perkelahian dua banding satu itu terjadi, kekerasan pun nggak bisa dipungkiri. Beruntung ada tetangga yang mendengar jeritan saya dan segera melerai perdebatan kami.


Petaka bagi kebebasan rumah tangga


Kalian mungkin sekarang sudah bebas sebebas-bebasnya. Tinggal di rumah sendiri, mengurus keluarga sendiri, semua-semuanya dilakukan sendiri. Lha saya? Meskipun saya sudah menikah, status saya sebagai kepala keluarga masih merangkap sebagai anak kesayangan. Alhasil, keberadaan istri saya di keluarga ini malah seperti orang asing bagi ibu saya yang perlu untuk terus didikte agar bisa menjadi pelayan yang baik saya.


Pernah suatu ketika, istri saya masak telur dadar untuk saya. Namanya masak telur kan ya terserah yang masak, ya nggak sih? Tapi, ibu saya malah meremehkan istri saya. Menurutnya, cara masak istri saya berbeda dengan cara masaknya. Padahal, saya yang makan saja merasa sama enaknya. Malah buatan istri saya lebih inovatif karena ada campur tangan Tiktok sebagai guru masak yang nggak konservatif.


Nggak cukup sampai di situ. Bahkan, ibu saya membeberkan kepada tetangga yang kebetulan bertamu bahwa istri saya nggak bisa masak telur dadar. Tentu kejadian ini membuat istri saya kapok masak di dapur ibu saya. Bahkan, agak kapok untuk bertemu dan berbincang berdua dengan ibu saya di rumah saat saya bekerja. Kecuali kalau ada saya sebagai orang ketiga dalam perbincangan, baru dia mau. Hubungan mereka berdua pun menjauh karenanya.


Mendapuk calon pewaris rumah terbesar


Keinginan saya dalam hal papan nggak muluk-muluk amat. Selagi bisa dihuni dengan aman, nyaman, dan tentram, saya mau menghuni tempat itu. Namun, sebagai anak terakhir yang terlalu diemaskan, sepertinya, bahkan sudah bisa dipastikan bahwa saya dan istri saya akan mendapuk sebagai calon pewaris rumah yang saat ini masih dihuni kedua orang tua saya.


Orang tua saya punya tiga rumah, yang dua sudah dilungsurkan kepada dua kakak-kakak saya beserta pasangan hidup mereka. Saya belum mendapat bagian karena dicanangkan sebagai pemilik rumah utama. Jujur, saya nggak ingin memiliki rumah itu. Menurut saya, rumah dengan dua lantai itu terlalu luas sehingga mengurusnya pasti memerlukan usaha keras. 


Saya malah dibuat iri dengan iri dengan kakak kedua saya yang mendapatkan rumah sederhana. Rumah sederhana satu lantai itu sudah saya dan istri incar sebagai tempat kami menjalani rumah tangga. Nahas, gelar anak terakhir yang saya emban malah membuat saya kalah saing dengan kakak saya dan pasangannya.


Gambar: Steve Bidmead / Pixabay

Penulis : Muhammad Arif Prayoga 


Tags: Nestapa, Paling bahagia, Takdir, Anak terakhir, Ragil,

Posting Komentar

0 Komentar