Perebutan Lahan Parkir oleh Ormas: Solo Lebih Baik daripada Tangerang urusan Parkir



Profesi tukang parkir memang menggiurkan secara penghasilan. Namun, dalam penerapan dan urgensi keberadaannya lebih menjadi mudarat daripada manfaat bagi seluruh umat. Daripada buat rebutan, lebih baik diatur dinas terkait!


Opini, Copa Media–Mengenakan seragam berwarna biru muda, lengkap dengan atribut nama dan zonasi penempatannya. Mereka berdiri sambil mengemut sebuah peluit yang dikalungkan di lehernya. Tangan kirinya direntangkan, sedangkan tangan kanannya memberi aba-aba untuk mempersilakan seorang pengendara agar masuk ke sebuah lahan fasilitas umum di kota. 


Itu adalah gambaran seorang petugas parkir yang resmi di Kota Solo. Kalau penampilannya nggak seperti itu, bisa jadi sedang melepas atributnya, atau memang preman yang menguasai lahan.


Kalau yang resmi, saya masih bisa maklum, karena bisa menambah pendapatan negara hanya dengan membayar beberapa ribu rupiah saja. Meskipun nggak sepenuhnya ikhlas, tapi saya masih maklum.


Nah, kalau yang beratribut lain, atau malah nggak ada atribut sama sekali, sudah pasti saya kesal dengan keberadaan mereka. Selain tarifnya yang nggak diatur sebagaimana tukang parkir resmi, nggak tahu ada kontribusi kepada negara atau nggak kalau membayarkan retribusi parkir kepada mereka. 


Biasanya mereka hadir di sebuah acara ramai khalayak seperti pasar malam, acara yang parkir resminya kepenuhan, hingga konser yang bukan diselenggarakan oleh Pemkot.


Selain terkesan komersialisasi lahan kosong, bayaran yang kita bayarkan nggak ada gunanya. Segala bentuk kehilangan ditanggung pengguna jasa. Sungguh pembayaran yang sia-sia.


Pekan lalu, ada kabar yang miris dari dunia bisnis pertukangan parkir, atau entah harus disebut bisnis apa. Yang jelas, bisnis ini menggiurkan, kayaknya.


Di jalan Hos Cokroaminoto, Kreo, Kota Tangerang, Banten, terjadi pergelutan imbas dari perebutan lahan parkir oleh dua organisasi masyarakat (ormas) di sana. 


Perebutan hak atas retribusi pengguna jalan yang memarkirkan motornya itu terjadi antara ormas Pemuda Pancasila (PP) dengan Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkapi). Keduanya bentrok, bahkan, salah seorang menjadi korban setelah mendapati luka di kepalanya.


Lahan yang diperebutkan adalah sebuah lahan di sebuah bank BCA di Kreo. Katanya, bentrokan diawali dengan adanya perselisihan mengenai siapa yang menjadi pemilik lahan tersebut.


Satu kelompok menyebut bahwa dirinyalah yang didapuk menjadi penunggu kendaraan bermotor di sana, satu lagi berusaha menepis anggapan itu. Cekcok yang berujung pada kekerasan pun nggak terhindarkan.


Sebenarnya, saya kurang relate dengan permasalahan yang ada di sana. Setahu saya, di sini, lebih tepatnya di Solo, lahan parkir yang ada di depan mesin ATM, apalagi bank, dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Surakarta dengan menggaet juru parkir (jukir).


Para jukir ini berseragam resmi dan telah terdaftar guna menanggulangi masalah premanisme lahan parkir. 


Saya kira semua daerah sama. Ternyata, setelah membaca kabar bentrokan yang dipicu perebutan lahan parkir sebuah bank di Kota Tangerang ini, tampaknya kebijakan ini belum ada di sana.


Kewenangannya atas pengelolaan lahan parkir di sana masih dipasrahkan kepada kelompok tertentu. Apa benar begitu? Mungkin pengguna jalan yang pernah melintas di sana atau warga yang tinggal di sana bisa menjelaskannya.


Kalau benar di sana Pemkot nggak mengambil alih retribusi parkir dengan menggaet jukir resmi, sayang sekali rasanya. Selain agar kasus bentrokan seperti yang baru saja terjadi tidak akan terjadi, otoritasi pengelolaan lahan parkir yang diatur langsung oleh dinas terkait juga bisa memberikan penghasilan daerah yang lumayan. 


Daripada dipasrahkan kepada kelompok tertentu, mungkin uangnya hanya akan masuk ke kas mereka. Hanya kata "mungkin" yang bisa saya sampaikan, karena saya belum tahu kebenarannya bagaimana di sana.


Walaupun saya nggak setuju-setuju amat dengan keberadaan tukang parkir sekalipun resmi, namun rasanya saya sedikit lebih ikhlas merogoh kocek saya kepada tukang parkir yang resmi dibandingkan preman atau anggota ormas tertentu.


Dengan adanya berita ini, saya jadi merasa bersyukur hidup di Solo, bukan karena dipimpin oleh anak presiden, melainkan karena urusan parkir yang diatur sedemikian rupa. Saya harap, yang terjadi di Solo ini juga ditiru oleh daerah-daerah lain, agar tercipta kondisivitas keamanan, terutama dalam urusan parkir kendaraan motor. Nggak ada darah seharga lahan parkir!


Gambar: Hans / Pixabay

Penulis : Muhammad Arif Prayoga 


Tags: Ormas, opini, Perebutan, Parkir, Organisasi masyarakat, Solo, Tangerang, Lahan parkir,

Posting Komentar

0 Komentar