Kata siapa anak yang kurang bersosial, alias introvert, nggak bisa lulus sarjana sosial? Bisa kok, yang penting tekun kuliah, belajar sebelum ujian, dan menggarap skripsi. Hehe.
Pendidikan, Copa Media–Introvert adalah sebuah kekurangan dalam hal bersosial yang diidap oleh beberapa orang. Umumnya, perilakunya di masyarakat lebih cenderung untuk menarik diri, pendiam, tenang, suka menyendiri, tidak tergesa-gesa, atau sangat berhati-hati. Setidaknya, itulah informasi yang saya dapat dari situs Halodoc.
Menjadi seorang introvert bukanlah sebuah halangan untuk mendapatkan gelar sarjana yang membidangi masalah hubungan antar manusia. Menurut saya, sebagai seorang anti-sosial bergelar sarjana sosial, pendidikan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepribadian, paling tidak untuk kurikulum yang sekarang ini.
Asal rajin datang kuliah, belajar sebelum ujian, mengikuti semua kegiatan wajib, dan mengerjakan skripsi secara tuntas, apapun jurusan dan fakultasnya pasti bisa diselesaikan. Menurut saya, lulus lebih mudah dibandingkan dengan tes masuknya. Tes masuk perguruan tinggi ada kemungkinan ditolak, sedangkan menuntaskan pendidikan hanya butuh ketekunan.
Penasaran bagaimana perjalanan pendidikan saya, seorang introvert yang akhirnya bisa merasakan sematan gelar sarjana sosial di belakang nama saya? Sini saya ceritakan awal mulanya.
#1 Mengambil jurusan IPA di SMA
Kecenderungan anti-sosial saya sebenarnya sudah terbangun sejak menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, alias SMP. Saat itu, saya sudah mulai overthinking mengenai tampang muka yang nggak impresif, dan skill yang nggak komprehensif, alias burik dan nggak terampil.
Saat lulus SMP dan beranjak ke SMA, saya masih mewarisi sifat pendiam dan suka menyendiri yang saya peroleh sejak masuk ke jenjang menengah pertama. Karena merasa kurang cocok dengan ilmu-ilmu sosial dan bahasa, saya pun memilih IPA sebagai jurusan saya saat memasuki kelas 11 atau tingkat ke dua dalam jenjang pendidikan SMA.
#2 Kesulitan mempelajari ilmu eksakta
Bukannya lebih bisa beradaptasi dengan ilmu-ilmu eksakta yang lebih banyak menggunakan otak untuk menghitung daripada urusan sosial, saya malah kesusahan mengikuti pelajaran. Semakin mendekati lulus bidang ilmu yang saya pelajari semakin susah untuk masuk di otak saya. Ujian selalu remedi meskipun sudah belajar setengah mati.
Namun, tetap saya tekuni jurusan yang nggak setimpal dengan kapasitas pemikiran kepala saya ini sampai lulus. Ada sih, teman saya yang awalnya terdaftar di jurusan IPA namun meminta untuk dipindah ke IPS, saya ingin seperti dia, tapi kayaknya bakal malu banget rasanya. Apalagi anak IPS harus punya sifat petentengan dan sok jagoan. Kayaknya saya juga bakal nggak berkembang di sana, hanya jadi bahan bully-an saja.
#3 Mencari sekolah tinggi yang berpotensi diterima
Ini nih, kalau gaya-gayaan masuk ke jurusan eksakta namun nggak punya keahlian di sana. Boro-boro melanjutkan ilmu yang dipelajari di masa SMA, keterima di perguruan tinggi ilmu eksakta saja membuat kepala saya sakit rasanya.
Fasilitas bimbingan belajar yang didatangkan oleh sekolah sebagai salah fitur pendidikan tambahan yang didapat dengan membayar SPP lebih banyak daripada siswa reguler nggak cukup membantu mendapatkan jurusan kuliah yang sesuai dengan jurusan SMA.
Sebelum akhirnya menyerah, saya mendaftar beberapa perguruan tinggi mentereng dengan jurusan statistika. Undip, Unnes, UNS, bahkan STIS, semuanya saya jajal namun nggak ada hasil yang memuaskan. Bagaimana ya, saya ingin melanjutkan ilmu eksakta saya agar nggak sia-sia, tapi kok otak saya menyuruh untuk menyerah saja.
#4 Mencari jurusan yang sedikit umum
Oke, saya penuhi kemauan otak saya untuk menyerah dan menurunkan gengsi. Saya turunkan ego saya yang sebelumnya menganggap remeh kampus negeri yang dibawahi oleh Kementerian Agama yang sering menyumbang mahasiswa PPL untuk mengajar di SMA saya. Sebuah kampus di Sukoharjo yang namanya mengandung unsur kata Surakarta.
Karena merupakan tanggung jawab dari Kementerian Agama, jurusan di kampus ini kebanyakan adalah ilmu-ilmu keagamaan, pikir saya. Setelah saya browsing tentang apa saja jurusan dan fakultas yang ada di kampus itu, ternyata ada sebuah jurusan yang nggak islam-islam banget dan berkemungkinan untuk dibutuhkan oleh banyak perusahaan. Jurusan itu adalah Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Akhirnya saya pun memutuskan untuk mendaftar ke jurusan tersebut melalui jalur UM-PTKIN atau ujian masuk, bukan yang jalur undangan. Kampus ini dipandang sedikit miring oleh para di SMA saya. Bahkan, teman saya yang sekarang ini bekerja di media ternama, pernah bercerita bahwa ada sebuah pengalaman dirinya diremehkan saat ditanya kuliah di mana lalu menjawab di sana.
#5 Bisa lulus dan bergelar sarjana
Setelah menurunkan ego dan menguatkan batin saat direndahkan karena kuliah di kampus yang kurang mentereng di Solo Raya, saya terus menekuni perkuliahan selama empat tahun itu. Saya jarang absen, meskipun nggak ada pengaruhnya terhadap kefasihan ilmu komunikasi yang saya dapat.
Semua kegiatan perkuliahan bisa saya ikuti, mulai dari presentasi saat perkuliahan, PPL, KKL, KKN, ujian praktik khitobah, hingga yang terakhir sebagai pamungkas adalah pengerjaan skripsi. Lulus dengan IPK yang biasa-biasa saja dan waktu menempuh pendidikan selama 4,5 tahun yang nggak bisa disebut cumlaude namun masih jauh dari kata terlambat.
Kini, saya adalah lulusan sarjana sosial di bidang Komunikasi dan Penyiaran Islam, meskipun secara sosial saya susah untuk berkomunikasi dan cenderung lebih suka menyendiri. Dari secuil pengalaman saya ini, saya menyimpulkan bahwa kuliah nggak perlu sesuai dengan ego yang dibangun sekolah maupun orang tua. Yang penting masuk, tekun, dan lulus. Itu saja.
Gambar: Laczko Istvan Stefan / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Komunikasi dan Penyiaran Islam, Gelar Sarjana, Perjalanan hidup, Pendidikan, Sarjana Sosial, Introvert,
0 Komentar