Penggalangan dana dilakukan oleh berbagai komunitas sebagai bentuk rasa peduli kepada daerah terdampak bencana. Sebenarnya saya ingin bersimpati melalui mereka, tapi ada rasa takut. Eh, ketakutan itu benar-benar terjadi.
Sosial, Copa Media–Kebaikan bisa datang dengan melakukan apa saja dan di mana saja. Pengumpulan sumbangan atau penggalangan dana untuk diserahkan kepada korban bencana termasuk sebuah kegiatan yang bisa dibilang baik.
Memantik api simpati dengan mendatangi khalayak di berbagai tempat yang ramai tidak ada salahnya. Namun, kegiatan yang awalnya baik ini sangat bisa disalahgunakan.
Pekan lalu, sebuah kabar mengejutkan datang dari keterangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sebuah asumsi terkait dugaan penyalahgunaan penggalangan dana oleh salah satu komplotan teroris, Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Yang lebih mengejutkan, ternyata dalihnya adalah kegiatan kemanusiaan terhadap korban gempa yang ada di Cianjur, Jawa Barat. Miris.
Selain mereka, ada juga upaya memperkuat diri oleh beberapa kelompok teroris lain. Jamaah Islamiyah dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua juga melakukan praktik penyalahgunaan penggalangan dana dengan dalih mencari simpati pada kegiatan kemanusiaan.
Jenis-jenis penggalang dana
Setahu saya, organisasi atau komunitas yang menjadi promotor penggalangan dana bisa dibagi menjadi tiga macam. Pertama, organisasi atau komunitas yang berbadan hukum dan motif pembentukannya adalah kegiatan nirlaba dengan maksud menjunjung rasa kemanusiaan.
Kedua, organisasi atau komunitas yang berbadan hukum tetapi maksud dan tujuan berdirinya bukan untuk kegiatan kemanusiaan. Misalnya komunitas atau organisasi yang berbasis hobi, profesi, atau literasi. Agak nggak nyambung bukan kalau komunitas penyuka belalang melakukan penggalangan dana untuk korban gempa?
Ketiga, organisasi atau komunitas yang nggak berbadan hukum. Saya rasa yang rela berpanas-panasan di lampu lalu lintas saat daerah lain terdampak bencana sebagian besar adalah jenis yang ketiga ini. Walaupun ya nggak bisa dipungkiri juga kelompok masyarakat jenis pertama maupun kedua turut berpanas-panasan mencari dana galangan.
Namun, kalau untuk kelompok dengan jenis yang pertama, biasanya mereka punya basis atau kantor untuk pengumpulan sumbangan. Apalagi kalau punya kekuatan di sosial media, mereka akan membuka rekening donasi untuk para donatur yang ingin menyalurkan bantuan lewat transfer.
Kredibilitas, maksud dan tujuan penggalangan dana
Menurut saya, tidak perlu ragu untuk menumbang melalui jenis komunitas atau organisasi yang pertama. Badan hukum yang menaunginya menekan kejelasan data penyaluran. Terlebih, fokus mereka adalah masalah kemanusiaan, sehingga kredibilitasnya nggak perlu diragukan.
Bahkan, mereka disuruh untuk membuat laporan pertanggungjawaban secara berkala. Saya sedikit tahu tentang ini karena memang skripsi saya tentang itu, dan lulus tanpa joki.
Namun, ya, segala niat baik pasti ada oknum di dalamnya. Termasuk mereka-mereka yang berbadan hukum sekalipun. Kasus penyelewengan dana oleh organisasi kemanusiaan yang cukup besar pernah terjadi di indonesia.
Kasus yang terjadi pada organisasi nirlaba Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang ramai tahun lalu misalnya, kejadian seperti itu nggak sepantasnya terjadi lagi kedepannya.
Untuk organisasi jenis kedua dan ketiga, sebenarnya sah-sah saja mereka melakukan penggalangan dana, toh niatnya baik. Namun, perlu diawasi secara ketat juga. Masalahnya, yang dikumpulkan adalah sumbangan dari masyarakat, baik berupa uang maupun barang.
Nggak semua niat baik luput dari kesalahan internal. Apalagi melihat uang yang sebanyak itu, kalau nggak diawasi bisa-bisa anggota kelompok itu tergiur dibuatnya.
Kesalahan-kesalahan yang dianggap sepele seperti masalah pencatatan sumbangan perlu ditekan agar nggak terjadi. Meskipun, donatur nggak dirugikan karena menyumbang dengan niat ikhlas, tapi ya jangan menyeleweng begitu. Dosa tahu!
Ketakutan saya atas bebasnya penggalang dana
Kabar mengenai penyalahgunaan dana sumbangan oleh komplotan teroris ini tentu membuat saya terkejut. Terlebih, sejak dulu saya takut untuk menyalurkan sumbangan kemanusiaan melalui organisasi-organisasi yang disebar di berbagai penjuru keramaian.
Saya selalu menghindari untuk menyumbang dengan sekumpulan orang random di jalanan. Ketakutan saya timbul atas anggapan tak berdasar terkait akan disalahgunakannya sumbangan yang saya berikan yang yang mereka tampung tanpa serah terima dan pencatatan yang jelas.
Dengan adanya kasus yang masih diselidiki pihak berwenang ini, saya jadi merasa bahwa penolakan saya untuk memberi bantuan lewat mereka sudah benar, apalagi penyelewengan dana sumbangan ini dilakukan oleh komplotan teroris.
Sudah mempermainkan rasa simpati orang, malah digunakan buat memperkuat aksi terorisme yang ujung-ujungnya nggak memanusiakan manusia. Sungguh perbuatan nggak terpuji dengan dosa berkali-kali lipat.
Perlu peran pemerintah untuk mengontrol
Menurut saya, pemerintah perlu membuat kebijakan untuk membatasi komunitas atau organisasi agar nggak terjadi lagi kasus penyelewengan dana galangan.
Perbanyak sosialisasi untuk hanya menyalurkan bantuan kemanusiaan melalui kelompok-kelompok yang berbadan hukum dan memiliki izin untuk pengumpulan sumbangan dari simpatisan. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat nggak salah tempat untuk menyumbang.
Untuk kelompok-kelompok yang sudah berbadan hukum serta maksud dan tujuan dibentuknya adalah urusan kemanusiaan, diperlukan pengawasan ketat. Kalau perlu, segala bentuk pemasukan dari donatur dan data penyaluran kepada korban bencana harus disinkronisasi agar penyelewengan sekecil apapun akan terdeteksi dan bisa ditindak sebelum tindakan berdosanya nggak lebih merugikan lagi.
Gambar: Heather / Pixabay
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
0 Komentar