Dulu, orang-orang menggunakan blog sebagai pengisi kekosongan. Curhat, sambat, berbagi informasi menarik, dan lain-lain. Semua itu bisa dilakukan saat itu. Namun, tidak untuk sekarang.
Nostalgia, Copa Media–Ada hal yang saya rasa berangsur hilang sekarang ini. Yakni, keragaman pengguna internet. Dulu, saat saya menimba ilmu dengan seragam OSIS putih biru tua, blogging, atau menulis di sebuah blog menjadi salah satu kegiatan berfaedah. Selain menambah keterampilan, kegiatan ini bahkan bisa dijadikan ladang cuan.
Keberadaan blog bisa mengganti peran buku harian. Tulisan di buku harian bersifat sangat rahasia dan nggak boleh dibaca oleh siapapun karena menimbulkan rasa malu. Sebab, kepemilikan buku kecil itu dapat dikenali dengan mudah. Selain itu, meskipun disembunyikan di bawah bantal, orang lain tetap akan penasaran. Kalau sudah dibaca, jadilah kisah hidup itu menjadi ceng-cengan.
Berbeda dengan blog. Sebagai pemilik blog, penulis bisa membuat dirinya anonim dengan mengisi nama penulis semau-maunya. Nggak perlu takut saat dibaca oleh orang, apalagi di-ceng-ceng teman sebaya. Tulisan dalam blog juga lebih bisa dibaca karena menggunakan font-font yang disediakan oleh penyedia layanan penulisan blog. Kalau di buku harian, mungkin yang bisa membacanya hanya penulis seorang.
"Lha kan, itu buku harian memang untuk dibaca sendiri, bukan bacaan orang lain?"
Mungkin pertanyaan itu muncul di benak orang-orang yang nggak setuju dengan opini saya di atas. Begini ya, yang namanya tulisan pasti tujuannya adalah dibaca. Apalagi penulisannya bergaya cerita dan berisi keluhan-keluhan hati yang dirasakan kepada orang lain maupun pihak-pihak tertentu. Kalau nggak disampaikan ke orang yang dikeluhkan, lalu buat apa?
Banyak kok novel-novel, bahkan film yang alur ceritanya diawali dengan rekam jejak hidup yang dituliskan dalam buku harian. Mengingat ingat kejadian di masa lalu nggak semudah membalikkan tangan. Dengan adanya buku harian itu, semua ingatan tentang masa lalu bak dijelajahi ulang.
Nah, keberadaan blog bisa menjadi pengganti yang baik untuk mengentaskan segenap kekurangan dalam penulisan buku harian. Selain keanoniman pembaca dan nggak hanya dibaca oleh teman-teman yang hanya ingin menjadikan cerita itu menjadi ejekan belaka, ada beberapa manfaat lain.
Jika blog sudah mulai ramai dikunjungi orang, laman itu bisa disisipi oleh penyedia layanan iklan. Disisipi di sini bukan dalam artian buruk, melainkan penulis mendapatkan bayaran atas tayangan iklan di blognya. Tentu adanya pendapatan tambahan ini bisa menjadi penambah semangat penulis untuk terus bersambat tentang apapun.
Saya masih ingat dulu beberapa blogger sempat menjadi pembicaraan di antara saya dan teman-teman. Mukidi dengan cerita lucunya yang sempat viral dan Agus Mulyadi dengan editan-editan fotonya yang membuatnya kini menjadi sosok yang terkenal dan fenomenal.
Keren kan dampak baik yang dirasakan oleh penulis blog? Memang, tapi itu dulu, sebelum digitalisasi media massa mulai dilakukan. Kenapa begitu? Sini, saya jelaskan.
Nggak semua sih, tapi kebanyakan blogger nggak mengerti cara memanfaatkan Google sebagai mesin pencari untuk memperbanyak pembaca tulisan mereka. Asal menulis saja, ramai alhamdulillah, nggak ramai ya sudah, pasrah. Berbeda dengan pemilik media massa yang melirik cuan dari iklan yang ditayangkan di blog yang kebanyakan dikelola oleh penulis amatir.
Tentu, muncul ambisi bermotif cuan di pikiran mereka para pemilik media. Dipelajarilah algoritma untuk untuk nangkring di mesin pencari seperti Google dengan menggaet orang-orang yang expert di bidang itu. Istilah optimasi ini disebut dengan search engine optimization (SEO). Hampir semua media melakukannya, keberhasilannya pun nyaris sempurna. Apalagi dengan banyaknya pengikut mereka di media sosial.
Dewasa ini, keberadaan blogger mulai tergeser oleh derasnya arus informasi yang dibagikan secara gratis oleh media online. Mereka bisa merekrut para reporter dan penulis berketerampilan SEO, sedangkan blogger nggak mampu. Al hasil, tulisan mereka bak tenggelam di dasar lautan dan nggak tersampaikan dengan baik. Menyerah adalah cara yang salah, namun masuk akal untuk dilakukan.
Keberadaan blogger saat ini nggak seperti dahulu kala. Memang masih ada orang yang membuat dan mengelola blog saat ini. Namun, gaya penulisannya sekarang ini lebih banyak opini atau tutorial. Masuk akal, karena untuk menulis keseharian, kayaknya nggak lebih baik daripada buku harian karena sama-sama nggak ada yang baca.
Tentu, media-media daring ternama menjadi kiblat mereka dalam membuat opini maupun tutorial melakukan sesuatu. Nggak hanya dalam hal penulisan, motif mereka juga mulai berubah dari yang dulunya adalah ingin berbagi cerita, kini motif mereka hanyalah uang belaka. Pendaftaran ke layanan penyedia iklan seperti Adsense cukup mudah didapatkan di platform blog Google sendiri yang bernama Blogger atau Blogspot menjadi alasannya.
Bulan lalu, saya teringat bahwa saya punya blog saat menempuh pendidikan menengah pertama dulu. Blog itu kini saya pasangi domain, dan tata letaknya pun saya sesuaikan dengan media online. Mau nggak mau saya tetap harus menyesuaikan diri. Meskipun saat ini belum ada pembaca tetapnya, paling tidak usaha terlebih dahulu.
Gambar: Karolina Grabowska / Pixabay
Penulis: Muhammad Arif Prayoga
Tags: Keterampilan, Ngeblog, Blogging, Menulis, Hobi, Media massa, Zaman, Mengasah, Lekang, Digitalisasi,
0 Komentar