Fotografer Wisuda: Pemalakan Berdalih Profesi yang Diloloskan Panitia Acara



Mencegat peserta wisuda yang melangkah dari parkiran ke gedung tempat pelaksanaan pelepasan mahasiswa dan nggak memperkenalkan diri sebagai penyedia jasa fotografi, membuat korban mengira dirinya bagian dari panitia acara.


Artikel ini pernah dikirim dan ditayangkan di Terminal Mojok dan telah memenuhi persyaratan untuk diunggah di media lain atas persetujuan penulis dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari setelah penayangan di Terminal Mojok.

Copa Media–Prosesi wisuda merupakan serangkaian acara yang nggak penting-penting amat, namun bisa membuat bahagia. Nggak hanya mahasiswa yang memenangkan jibaku peperangan melawan skripsi saja yang bahagia. Orang tua, yang berperan dalam investor dalam hal pembayaran uang kuliah tunggal (UKT), turut bahagia dalam acara itu.


Acara penuh khidmat itu berjalan lancar. Namun, tangis salah seorang lulusan mahasiswi tak tertahankan sekeluarnya dari gedung pelaksanaan wisuda hingga sepanjang perjalanan pulang. Bukan tangis haru yang saya maksud, melainkan, tangis sebenar-benarnya tangis akibat merasa dijebak oleh penipuan berdalih fotografer wisuda.


Acara itu digelar oleh salah satu fakultas di Universitas Islam Negeri (UIN) Surakarta awal maret lalu. Iya, oleh fakultas, karena memang bukan wisuda yang sesungguhnya. Wisuda yang sebenar-benarnya wisuda, mahasiswanya bersandang toga dan dihadiri oleh petinggi kampus. Acara yang itu sudah dijadwalkan oleh rektorat untuk diadakan 10 hari pasca pelepasan wisudawan fakultas ini.


Mencegat mahasiswa yang hendak masuk ke gedung acara


Acara pelepasan wisuda ini dihadiri oleh petinggi fakultas dan prodi, seperti Dekan, Wakil Dekan, Kaprodi, Kepala bagian TU, serta beberapa pejabat fakultas lainnya. Selain itu, berlaku sebagai tamu undangan, mahasiswa yang dinyatakan lulus, wali mahasiswa, dan beberapa alumni terpilih turut dihadirkan.


Salah seorang mahasiswi yang nggak pengin disebut namanya yang merupakan lulusan fakultas tersebut turut hadir dengan satu wali yang mendampinginya. Saat melangkah ke dalam gedung, tiba-tiba seseorang menegur sapa kepada dua insan tersebut, lalu menawarkan jepretan foto.


Kata-katanya begitu lugas, membuat mahasiswi dan walinya itu mengiyakan apa kata seseorang yang mengalungkan kamera di lehernya itu. Dalam benak sang mahasiswi, sepertinya fotografer ini bagian dari rangkaian acara. Dia kira, hasil fotonya nanti bakal dijadikan album buku perpisahan sebagaimana di masa sekolah.


Nggak memperkenalkan diri


Ciri-ciri pelaku adalah seorang bapak-bapak yang membawa kamera yang dikalungkan di lehernya. Dirinya sudah standby sejak lama, jauh sebelum para mahasiswa mulai datang ke acara. Mahasiswi yang menjadi korban tadi datang cukup awal. Suasana sepi itu, tampaknya dimanfaatkan oleh pelaku untuk memperdaya mahasiswi dan satu wali itu.


Alih-alih memperkenalkan diri sebagai jasa fotografi dirinya malah berucap, "Mbak, Bu, foto dulu di sini." Nggak ada satu kata pun yang menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang penyedia jasa fotografer, apalagi membicarakan tarif percetakan foto. Nggak ada sama sekali.


Bahkan, bertanya kepada korban mengenai berapa jepretan yang dibutuhkan pun nggak dilakukan. Jepretan demi jepretan itu dilakukan semau-maunya sendiri. Korban yang masih merasa bahwa fotografer ini bagian dari acara hanya bisa menaati segala instruksi yang keluar dari mulut sang fotografer.


Menagih saat mahasiswa keluar


Prosesi demi prosesi telah sukses dilaksanakan. Acara pelepasan itu pun ditutup dengan improvisasi panitia yang epik. Yakni, menyanyikan lagu Dewa 19 berjudul "Kangen" dengan suasana lampu mati dan ayunan nyala senter ponsel peserta acara bak konser-konser di malam hari. Epik, tapi sepertinya nggak perlu diadakan di acara semi resmi. Saya katakan "semi" karena memang bukan acara wisuda yang sesungguhnya.


Selepas acara ditutup oleh pembawa acara, para tamu undangan keluar dari gedung yang terletak di salah satu hotel di Sukoharjo itu. Termasuk mahasiswa yang saya sebut di awal bersama dengan walinya. Namun, baru selangkah dari pintu keluar, tiba-tiba seorang bapak-bapak menyodorkan cetakan foto 4 lembar kepadanya. 


Setelah mengingat-ingat, mahasiswi itu menyadari bahwa paras bapak-bapak itu adalah fotografer yang menemuinya di depan tadi. Sontak sebuah pikiran melayang ke kepalanya, "Loh, ini kan bapak tadi, ada apa?"


Tiba-tiba meminta bayaran


Pria paruh baya ini meminta tarif sebesar Rp 20 ribu untuk satu lembar fotonya. Jadi, total yang harus dibayar oleh mahasiswi ini adalah Rp 80 ribu. Terbesitlah sebuah pikiran bahwa mahasiswi itu telah dijebak oleh fotografer nakal yang bahkan nggak memperkenalkan diri di awal pertemuan tadi.


Mahasiswi itu mana tahu bahwa fotografer ini bukanlah bagian dari rangkaian acara pelepasan mahasiswa oleh fakultas. Sepatah kata pun nggak diucapkan bahwa fotonya nanti akan dicetak dan ditarik harga per lembarnya. Kalaupun di awal dia bilang maksud dan tujuannya mencegat, sudah pasti ditolak jasanya. Wong, kondisinya lagi bokek.


Untuk seorang mahasiswi yang sudah mengeluarkan biaya banyak untuk proses-proses yang menuntunnya ke prosesi wisuda yang sebenarnya, tentu nggak ada uang segitu. Undangan untuk acara nggak penting itu saja sudah Rp 300 ribu. Belum persyaratan-persyaratan yang lain.


Mahasiswi beserta walinya itu jadi merasa dipalak dan nggak bisa menahan tangis hingga sepulangnya ke rumah. Sang wali, sebenarnya sudah menolak dengan berbagai macam alasan. Namun, mahasiswi itu takut jika foto yang sudah terlanjur dicetak itu disalahgunakan oleh fotografer akibat kekesalan atas kegagalan dalam pemalakan.


Akhirnya, mahasiswi dan walinya itu mengorek-ngorek tasnya siapa tahu masih ada uang yang masih tersisa. Semua uang pun diberikan kepada fotografer itu. Ada beberapa rupiah, namun nggak sampai Rp 80 ribu. Dikasihlah semua uang yang tersisa dari tas dua insan ini. Mahasiswi itu pun akhirnya pulang tanpa sepeserpun uang di kantong, dompet, maupun tasnya. 


Tangis pun nggak bisa dicegah dari matanya selama perjalanan menuju rumahnya bahkan sesampainya di rumah. Syukur, nggak ada kendala lain seperti pecah ban, kehabisan bensin, dan lain sebagainya. Kalau ada, dia nggak tahu harus bagaimana lagi. "Dasar pemalak berdalih penyedia jasa fotografi," umpatnya.


Panitia pelaksana yang lalai


Kejadian seperti ini seharusnya sudah diatur dan diawasi oleh fakultas yang bertanggung jawab atas acara pelepasan wisudawan dan wisudawati ini. Paling nggak, ada satu sie dalam kepanitiaan acara yang bertugas mengatur dan mengawasi para penyedia jasa yang berseliweran di depan lokasi yang dijadikan acara. 


Seharusnya dibuat aturan agar para penyedia jasa itu mengatakan yang sebenar-benarnya ketika mencari target pengguna jasa. Tata cara menghampiri peserta wisuda seperti kalimat yang wajib ada saat menyapa wisudawan, mempresentasikan jasa, hingga tarif jasa yang dipatok untuk cetakan foto per lembarnya harus ada. Semua itu harus diatur agar nggak terkesan mahasiswa yang datang dijebak dengan anggapan bahwa fotografer itu bagian dari serangkaian acara.


Biaya undangan sebesar Rp 300 ribu itu terlalu besar untuk acara yang hanya begitu saja. Apalagi tanpa perlindungan peserta terhadap oknum-oknum nakal fotografer yang memanfaatkan keadaan. Bahkan, acara wisuda yang sesungguhnya yang diadakan oleh rektorat nggak ditarik sepeserpun biaya. Ada sih, jaminan peminjaman toga sebesar Rp 150 ribu, namun nanti kalau toganya dikembalikan, uangnya pun turut dikembalikan.



Gambar: NoName 13 / Pixabay

Penulis : Muhammad Arif Prayoga


Tags: Wisuda, Dalih, Profesi, Acara, Lolos, Fotografer, Pendidikan, Fakultas, Panitia, Pemalakan,

Posting Komentar

0 Komentar