Pejabat versus Pengusaha: Menelisik Alasan Perbedaan Arogansi antar Orang Kaya



Bukan sekali dua kali kabar mengenai kesombongan keluarga pejabat mencuat ke publik. Kalau dihitung, angkanya lebih besar dibandingkan dengan keluarga pengusaha, meskipun sama-sama kaya. Kenapa begitu?


Opini, Copa Media–Kesombongan datang sebagai ujian ketika seseorang berada di atas. Bukanya melihat ke bawah untuk membantu orang-orang yang merangkak naik, mereka-mereka yang gagal dalam ujian keangkuhan malah semakin melihat ke atas. Mereka merasa posisinya semakin dekat dengan tuhan, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Sesekali mereka melihat kebawah. Bukan untuk membantu yang lemah, melainkan untuk berbuat semena-mena di luar batas kewajaran yang diatur oleh norma. Segala bentuk penindasan dan kekerasan mereka lakukan atas dasar satu alasan, mereka punya yang nggak dipunya orang lain. Apa lagi kalau hak istimewa, baik privilese orang tuanya, maupun privilesenya sendiri.


Kabar mengenai arogansi orang kaya sering menghiasi media massa. Namun, sadarkah bahwa orang yang bergelimang harta gara-gara keluarganya mendapuk sebagai pejabat lebih sering muncul di media dibandingkan dengan orang kaya karena keluarga pengusaha? 


Meskipun diuji dengan ujian kesombongan yang sama karena sama-sama berada lebih atas dibandingkan dengan orang lain, namun ada perbedaan dalam mengerjakannya. Apa saja yang mendasari perbedaan itu? 


Saya memang bukan termasuk keduanya karena harta kekayaan saya nggak sebanyak mereka, jabatan pun nggak punya. Namun, izinkan saya untuk mencoba menelisik penyebab yang membuat keduanya berbeda.


Usaha untuk mendapatkan kekayaan


Kita mulai dari asal muasal katanya. Jika mengacu pada KBBI berbasis website, arti kata "usaha" adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud. Sedangkan kata "jabat" diartikan sebagai memegang.


Dari pengertian itu, berarti seorang pengusaha sudah mengerahkan tenaga, pikiran, dan badannya sebelum dirinya menjadi kaya. Sedangkan pejabat adalah orang yang memegang sesuatu. Apa yang dipegangnya? Tentu, sebuah jabatan.


Pengusaha dan pejabat sama-sama merupakan orang yang berada di tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang pada umumnya. Dua profesi ini sering dikaitkan dengan kekayaan yang melimpah. Bedanya ada pada usaha untuk mendapatkan posisi itu. 


Seorang pengusaha mengusahakan posisinya dengan melakukan sesuatu karena keinginannya sendiri, yakni membangun sebuah usaha. Berbeda dengan pejabat didapuk oleh seseorang yang posisinya lebih tinggi untuk menduduki sebuah jabatan dalam kurun waktu tertentu. Bayaran pengusaha tergantung dengan seberapa keras usahanya, sedangkan pejabat dibayar tergantung dengan tanggung jawab jabatan yang diembannya.


Krisis penyalahgunaan kuasa


Berbeda dengan pengusaha, pejabat seringkali dianggap sebagai penguasa. Namun, sepertinya segelintir orang yang disebut "oknum" menyalah artikan arti kata "kuasa" itu sendiri. Memang, dirinya merupakan seorang yang memiliki kuasa terhadap sebuah kursi yang dipegangnya dalam sebuah institusi. 


Kekuasaannya hanya sebatas dalam institusi tersebut agar semakin meningkatkan mutu kedepannya. Bukan malah berkuasa atas masyarakat lemah yang hidup matinya tergantung kinerja mereka. Masyarakat memang hanya bisa menuntut, karena memang hanya itu yang bisa dilakukan. Seharusnya tuntutan itu diterima, diresapi, dan dipikirkan untuk dilakoni. Bukannya dihentikan dengan cara-cara yang nggak sebaiknya dilakukan.


Untung rugi menjadi oknum


Seorang pejabat menduduki kursi yang bukan kepemilikannya sendiri. Bahkan, sekalipun menjabat sebagai jabatan tertinggi dalam sebuah institusi, nggak serta merta dirinya memiliki institusi tersebut. Keberadaan pejabat hanya membantu kinerja agar semakin baik. Dirasa, maupun nggak dirasa di mata masyarakat.


Meskipun seringkali para pejabat merasa dirinya orang yang paling penting, namun sebenarnya keberadaan mereka terhadap berdirinya sebuah institusi nggak terlalu penting. Kalau ada pejabat yang melanggar ketentuan yang berlaku, tinggal dilakukan pencopotan, penggantian, dan pemulihan citra.


Berbeda dengan seorang pengusaha, dia bertanggung jawab atas harta dan kekayaan yang dimilikinya sendiri. Sehingga, segala bentuk penyelewengan terhadap perusahaannya membuat rugi dirinya sendiri. Memang, ada juga bawahan yang terdampak akibat penyimpangan kuasa yang dilakukan oleh seorang pengusaha. Baik itu dipecat tanpa ada alasan, menurunkan gaji, diskriminasi karyawan, dan lain sebagainya. 


Namun, tingkah laku semena-mena ini akan berdampak pada dirinya sendiri karena citra usaha yang susah payah dibangunnya menjadi buruk. Kalau terlalu parah, bahkan bisa membuat usahanya bangkrut sehingga harus memulai dari awal lagi.


Tentu, dilematika untung rugi dipikirkan matang-matang oleh seorang pengusaha. Karena itu, mereka mewanti-wanti diri mereka sendiri maupun keluarga mereka untuk berlaku semena-mena yang akan menurunkan citra usaha yang sudah dibangunnya dengan susah payah.


Sistem boss dan leader dalam kepemimpinan


Meskipun sama-sama mempunyai tujuan yang harus dicapai, ada dua tipe kepemimpinan tergantung di mana posisi seorang pemimpin. Pertama, sistem boss atau bos, yakni sebuah kepemimpinan yang sangat bergantung kepada bawahan. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini biasanya hanya memberikan arahan. Namun, untuk penerapannya bawahan disuruh untuk memikirkan sendiri strategi apa yang akan digunakan.


Kedua, sistem leader atau leadership, yakni sebuah kepemimpinan di mana pemimpin turut memberikan aksi dan atensi terhadap tujuan yang hendak dicapai. Dalam penerapannya, pemimpin dan bawahan bekerja sama untuk mencapai keberhasilan visi dan misi yang sudah dirancang sebelumnya. Kepemimpinan jenis ini lebih efektif, karena pemimpin disukai oleh bawahannya.


Memang nggak bisa digeneralisir bahwa semua pengusaha adalah leader sedangkan semua pejabat adalah bos. Namun, karena institusi yang dipegang tanggung jawabnya oleh pejabat bukan kepemilikan sendiri, bisa jadi mereka nggak punya keperluan mendesak untuk ikut andil dalam sebuah proyek. 


Statusnya hanya sebagai people in charge (PIC) atau orang yang bertanggung jawab. Mungkin, di benak mereka, lebih baik memanfaatkan segenap pegawai yang ada. Toh, mereka dibayar untuk bekerja. Kalau ada masalah yang menyangkut proyek tersebut dan berpotensi menyerang eksistensinya di jabatan tersebut, baru dia bergerak bak penuntas masalah.


Konsep bekingan sebagai bantuan hukum


Memang, semua orang bisa mencari bekingan selama punya uang cukup untuk menyewa jasa preman maupun oknum petugas. Namun, bekingan yang ada akibat posisi strategis sebagai pemegang kuasa lebih laik kayaknya. Kalau dibandingkan dengan pengusaha, mereka hanya bisa menggaet bekingan dengan uang, sebuah materi yang dicari-cari olehnya selama ini. 


Menggelontorkan dana demi keamanan pribadi dengan menggaet bekingan memang bisa membuat urusan yang rumit untuk menemukan jalan pintas agar masalahnya bisa sedikit terurai. Namun, bagi pengusaha, rasanya hal itu sangat bertentangan dengan tujuannya. Kayaknya, patokan hidup mereka berorientasi kepada kebahagiaan yang sebagian besar didatangkan oleh uang dan kekayaan.


Berbeda dengan oknum pejabat yang kayaknya orientasi hidupnya adalah kuasa untuk melakukan sesuatu. Mereka bisa dengan mudah menggaet bekingan agar dirinya bisa tetap menjabat di institusi tersebut. 


Hanya dengan janji bagian proyek maupun privilese-privilese lainnya, para oknum pejabat bisa dengan mudah mendapatkan bantuan preman jika terkait dengan kekerasan, maupun bantuan hukum, jika bermasalah dengan hukum.


Saya bilang oknum karena nggak semua pejabat sejahat yang pikirkan oleh admin dan pengikut akun Twitter @txtdrberseragam. Dibalik ratusan atau ribuan oknum yang ada, pasti ada pejabat jujur yang nggak terlalu ingin diekspos agar nggak dikata cari pamor.


Dari pembahasan ngalor-ngidul saya di atas, dapat disimpulkan bahwa ada alasan dibalik arogansi keluarga pejabat yang lebih besar dibandingkan keluarga pengusaha, meskipun sama-sama bisa dibilang orang kaya. Alasan yang paling masuk akal adalah adanya privilese yang dimiliki pejabat yang nggak dimiliki pengusaha. Yakni, sebuah kuasa.


BACA JUGA: Gebrakan KTP Digital: "Bunuh Diri" di Era Banyaknya Kasus Kebocoran Data


Gambar: Lukas / Pixabay

Penulis : Muhammad Arif Prayoga


Tags: Alasan, Perbedaan, opini, Pejabat, Arogansi, Orang kaya, Pengusaha, Menelisik,

Posting Komentar

0 Komentar