Ketika pengusaha lain diuntungkan jika harga jual produk yang dijualnya mengalami peningkatan, pengusaha Pertashop malah harus merasakan kesedihan akibatnya.
Sekilas Info, Copa Media–Per 1 Maret kemarin, harga jual pada beberapa BBM di Pertamina mengalami perubahan harga. Salah satu BBM yang terdampak atas perubahan harga itu adalah jenis bensin dengan RON 92, yakni Pertamax. Ya, BBM yang mulai kembali dilirik oleh pengendara sepeda motor karena jarak harganya dengan Pertalite eceran hanya Rp 800 itu kini kembali berjarak cukup jauh.
Tentu, sebagai penyalur BBM resmi yang hanya diperbolehkan untuk menjual BBM jenis Pertamax, pengelola Pertashop turut diwajibkan untuk mengganti papan harga dan setelan harga pada mesin pompa. BBM yang sebelumnya dipatok dengan harga Rp 12.800 itu kini naik menjadi Rp 13.300.
Saya sebagai operator di salah satu Pertashop biasanya membulatkan pembelian yang menyebut satuan liter. Misalnya, pembelian satu liter yang harusnya bernilai Rp 12.800, namun saya mengisi tangki pelanggan dengan bensin senilai Rp 13.000. Hal ini perlu saya lakukan agar nggak susah ketika ngasih kembalian kepada pembeli.
Nah, mulai 1 maret itu, kebiasaan baru dimulai hari itu. Pembelian BBM Pertamax satu liter harus saya bulatkan menjadi Rp 13.500. Untuk pembelian 2 liter, 3 liter, 4 liter, dan seterusnya saya membuat tabel yang saya tempelkan di samping panel pompa BBM. Saya perlu lakukan itu agar nggak perlu kalkulator saat ada pelanggan yang membeli dengan menyebut satuan liter.
Sebuah nalar masuk di benak para pengusaha dengan adanya kenaikan harga jual BBM ini, "Harganya naik, profit semakin banyak dong?" Hmm, gimana ya, masalahnya para pengusaha Pertashop bersaing dengan pengusaha SPBU reguler dan pedagang bensin eceran dalam urusan harga.
Benar, dengan membeli di harga beli untuk harga jual lama kemudian menjual di harga jual baru memang mendapatkan untung lebih banyak. Selama masih punya stok yang dibeli dengan harga beli yang lama. Nahasnya, setelah keuntungan meningkat sesaat itu, ya pembeli mulai beralih ke produk yang lebih murah, resmi, maupun nggak resmi.
Jarak antar bongkar BBM oleh tangki pertamina pun semakin jauh, imbas dari total pembelian harian yang berkurang. Akibatnya, hitungan untung yang didasari oleh bagi hasil per liter atas BBM yang berhasil disalurkan kepada masyarakat pun semakin berkurang. Liter tersalur semakin sedikit, hitungan untung juga semakin seumprit.
Saya berani bertaruh mengenai itu. Sebab, selama usaha Pertashop bapak saya berdiri, kami sudah mengalami beberapa dampak atas naik dan turunnya harga BBM non subsidi ini. Semua data penjualan BBM di Pertashop ini, saya pegang dalam sebuah buku harian yang berisi jumlah liter penjualan harian. Anggapan saya ini sangat bisa dipertanggungjawabkan.
Saya ingat sekali imbas dari naik turun harga yang sebelum-sebelumnya. Setelah BBM mengalami kenaikan, penjualan BBM pada hari pertama akan sama seperti sebelum terjadi kenaikan. Sebab, para pelanggan banyak yang belum tahu informasi mengenai kenaikan harga. Hal ini tentu membuat peningkatan keuntungan yang menyenangkan, namun hanya berjalan sesaat.
Hari kedua dan seterusnya, akumulasi jumlah liter BBM yang berhasil dijual harian akan terus menurun. Akibatnya, keuntungan yang didapatkan oleh pengelola pun juga ikut berkurang dibuatnya. Kalau sebuah bisnis keuntungannya menurun, bukankah hal itu lebih layak disebut sebagai sebuah kesedihan dibandingkan dengan sebutan "kesenangan" atau "kebahagiaan"?
Pengusaha lain ketika harga jualnya naik, mereka nggak punya saingan berat yang bersembunyi dibalik kata "subsidi" sebagaimana Pertalite, maupun subsidi-subsidi lainnya. Kalaupun iya, perbedaan kualitasnya terlihat mencolok, sehingga pembeli nggak terpengaruh untuk membeli barang subsidi yang lebih murah.
Barang yang saya maksud di atas adalah beras subsidi. Memang lebih murah dibandingkan dengan beras non subsidi, namun kualitasnya sangat tampak. Tentu, pembeli beras non subsidi nggak ada niat sedikitpun untuk melirik, apalagi beralih mengonsumsi beras untuk masyarakat nggak mampu itu. Ada sih yang mengincarnya, tapi buat pakan hewan ternak.
Untuk bensin, ah, embel-embel RON yang lebih rendah apa dipedulikan oleh masyarakat? Kecuali orang-orang yang sadar atau paham terkait otomotif, apa ada orang yang dengan sengaja memilih bensin dengan lebih mahal yang nggak kelihatan-kelihatan amat perbedaan kualitasnya?
Agak aib sih, saya yang dalam keseharian berjualan bensin dengan angka oktan 92 saja masih memilih Pertalite sebagai bahan bakar sepeda motor saya. Gimana ya, upah dibawah standar, dengan kondisi sudah beristri dan sedang hamil, rasanya selisih harga beberapa ribu rupiah itu cukup krusial bagi saya dan keluarga.
Dengan adanya migrasi pengguna BBM dari non-subsidi ke BBM subsidi yang akan terjadi beberapa saat setelah harga jual baru diresmikan, pengelola Pertashop akan merasakan getir pahitnya kehidupan. Membuat semua harapan akan kesuksesan melalui bisnis ini harus berhenti sesaat sambil menunggu selisih dengan harga BBM subsidi mengecil. Entah sampai kapan harus menunggu. Doakan saja.
BACA JUGA: Dosa Operator Pertashop yang Turut Menambah Sepinya Lapak Mereka
Gambar: Dokumen penulis
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Sedih, Bisnis, Pertamina, Pertalite, Pertamax, Kenaikan harga, BBM non-subsidi, Pengusaha, Pertashop,
0 Komentar