Salat Berjamaah di Masjid Banyak Pahala, Mungkin karena Cobaannya yang Lebih Berat

Copa-Media—Salat berjamaah di masjid selalu menjadi pembeda antara penganut Agama Islam yang bersungguh-sungguh dengan yang biasa-biasa saja, apalagi yang hanya tercantum di KTP. Nggak semua umat muslim mau atau sempat melangkahkan kaki ke rumah ibadah, meskipun hanya lima kali sehari saja.





Bagaimana tidak menggiurkan bagi pencari kenikmatan akhirat, pahalanya saja berkali-kali lipat dibandingkan dengan salat berjamaah selain di masjid, apalagi salat tidak berjamaah. Tentu kesempatan ini sangat berharga bagi para penghuni masjid untuk memperbanyak pahala di dunia.


Namun, besarnya padahal yang didapat dari melakukan kegiatan keagamaan ini juga sebanding dengan cobaan yang menimpa sesaat setelah lantunan iqomah dikumandangkan. Ya, bukan hanya rasa malas untuk mendatangi masjid saja yang menjadi ujian seorang muslim. Saat salat dimulai pun cobaan masih ada. Apa saja itu?


#1 Suasana riuh teriakan anak kecil


Sebagai seorang muslim yang taat beragama, sudah barang tentu mendidik anak agar menjadi saleh menjadi sebuah kewajiban bagi setiap orang tua. Atas dasar itulah biasanya mereka mengajak anak mereka untuk turut menyaksikan dan mengamati gerakan-gerakan salat dengan harapan bisa meniru dan terbiasa.

Namun, namanya juga anak-anak, bercengkrama dengan anak seusianya lebih menyenangkan dari pada menirukan gerakan salat, bukan? Kejar-kejaran, teriak-teriak, hingga pertengkaran yang menyebabkan tangis kerap terdengar dan tersaksikan.


Biasanya, kalau keributan yang dibuat anak-anak ini terlalu parah, sang ayah maupun ibu yang mendampinginya ke masjid akan memarahinya setelah salat berjamaah usai. Para jamaah yang mendengar maupun menyaksikan keributan itu saat salat berlangsung hanya bisa pasrah fokus mereka dalam beribadah diacak-acak.


#2 Outfit jamaah yang mengganggu konsentrasi


Namanya juga orang yang taat beribadah, sesegera mungkin mendatangi panggilan azan kerap kali membuat jamaah nggak menyadari bahwa pakaian yang digunakannya mengganggu konsentrasi jamaah lain. Biasanya sih produk dari Joger yang biasa menjadi oleh-oleh dari Bali.


Ada juga yang sudah berusaha melapisinya dengan baju koko atau jubah. Namun, kain pelapis itu lebih tipis, sehingga kata-kata dalam kasus bertulisan itu terbaca oleh makmum yang di belakangnya. Fokus para makmum yang seharusnya tertuju pada lantunan ayat yang dibacakan oleh imam jadi terpecah akibat tulisan-tulisan tersebut.


Oiya, baru saya sadari, jangan-jangan alasan mengapa pahala jamaah yang ada di saf pertama lebih besar dari pada saf-saf lainnya adalah tidak adanya kaus bertulisan yang bisa dibacanya sebab langsung menghadap tembok masjid. Benar nggak sih?


#3 Panjang pendek surat yang dipilih imam


Panjang pendeknya pilihan surat yang dilantunkan oleh imam setelah Al-Fatihah menentukan seberapa lama makmum akan berdiri sambil menyimak. Meskipun para makmum ini menyempatkan waktunya untuk menjalankan sebuah kewajiban, bukan berarti mereka nggak punya urusan lain, kan?


Pada awalnya memang ada antusiasme untuk menyimak, terutama kalau baik imam maupun makmum sama-sama hafal dengan surat yang dibaca tersebut. Namun, terlalu lama berdiri akan membuat fokus makmum yang awalnya menyimak menjadi merasakan lelah pada kedua kakinya. Sebagai manusia biasa wajar, bukan?


Banyak dai-dai yang sudah menjelaskan perihal ini. Salah satu yang saya ingat adalah Habib Ja'far yang sering kalang kabut di media sosial. Sebagai imam, sudah sepatutnya untuk nggak bersikap egois kepada para makmumnya. Para makmum, terutama di masjid umum pinggir jalan, tentu punya urusan lain. Kalau di pondok atau lembaga pendidikan sih, nggak papa.


#4 Jarak antar saf yang terlalu dekat


Ah, saya rasa hal ini patut tersampaikan kepada para takmir masjid, terutama masjid di sekitar tempat tinggal saya di Wonosari, Gondangrejo, Karanganyar. Karpet gulung yang difasilitasi oleh takmir masjid nggak sesuai dengan standar sajadah pada umumnya. Hanya 2,5 per 3 kalau saya kira-kira.


Pendeknya karpet ini menyebabkan saya selaku makmum di sana kurang nyaman saat posisi sujud. Apalagi, biasanya terjadi domino effect yang menyebabkan tumit kaki makmum di depan saya offside ke belakang dan membuat terkadang kepala saya terinjak saat berdiri setelah sujud. 


Di satu sisi saya nggak mau offside seperti dia, di sisi lain saya harus memundurkan tumit saya juga untuk menghindari terinjaknya kepala saya oleh makmum di depan saya. Hal ini yang menyebabkan saya lebih nyaman berada di saf paling belakang karena saya bisa memundurkan tumit kaki semau saya.


Seharusnya takmir memilih karpet gulung yang sesuai dengan standar sajadah pada umumnya. Atau, paling nggak, berikan jarak antar karpet agar nggak ada lagi kepala yang terzalimi.


#5 Peringatan "Matikan ponsel" yang nggak diindahkan


Di dinding depan masjid biasanya sudah terpampang jelas sebuah plat akrilik bertuliskan "Matikan ponsel" dan "Harap diam saat Khotib berkhutbah". Tujuan dari dua himbauan ini adalah menjaga fokus para jamaah saat salat, maupun saat khatib sedang berkhutbah.


Namun, sebagai Majid umum, sudah barang tentu tidak tebang pilih siapa yang boleh menjadi makmum. Semua kalangan diterima untuk turut berjamaah di masjid itu. Termasuk para pekerja kantoran maupun musafir yang turut membawa masuk ponsel miliknya. 


Nggak sekali dua kali saya mendapati ponsel tersebut berdering dengan berbagai macam nada dering. Tentu suara-suara ini mengganggu konsentrasi para jamaah dalam menunaikan ibadah wajibnya. Apalagi kalau nada deringnya nyeleneh dan mengundang tawa. Bukan terganggu lagi, itu batal namanya.


Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Gambar : RawPixel / Freepik 


Tags: Alasan, Berat, Cobaan, Pahala besar, Salat berjamaah

Posting Komentar

0 Komentar