Sisi Lain Pesantren yang Harus Diketahui oleh Calon Para Wali Santri

Copa-Media—Beberapa waktu lalu ramai di media sosial maupun media konvensional terkait adanya pondok pesantren yang diduga mengajarkan aliran sesat.





Mirisnya, pondok itu bukan pondok sesat ecek-ecek di lokasi terpencil yang penuh dengan keterbatasan dan hanya bisa melakukan kesesatan secara diam-diam, melainkan pondok pesantren mewah dan megah. Dengan banyak santri yang menimba ilmu di dalamnya, pondok pesantren tersebut dengan penuh rasa percaya diri bahwa apa yang mereka ajarkan bukanlah ajaran sesat.


Kasus ini pastinya membuka mata para orang tua yang punya rencana untuk menyekolahkan anaknya di pondok pesantren.  Setidaknya mereka nggak akan main-main asal tebang pilih pondok pesantren sebagai calon tempat anak mereka menimba ilmu nantinya.

Selama ini, lembaga pendidikan pondok pesantren selalu menjadi favorit orang tua untuk mengisi otak anaknya dengan ilmu agama agar menjadi insan yang selamat dunia dan akhirat. Selain itu, dengan menyekolahkan anaknya ke lembaga ilmu agama, kebaikan akan kembali kepada mereka sendiri. Misalnya kelak anaknya akan terus mendoakan mereka meskipun hayat mereka sudah berakhir.


Untuk para orang tua yang sudah pernah merasakan suasana pondok dan tau seluk beluk kehidupan sehari-hari di sana sih nggak masalah ya. Tapi, untuk para orang tua yang belum pernah merasakan suasana hidup di lingkungan ponpes, izinkan saya menceritakan apa yang saya rasakan dulu selama 3 tahun hidup di pondok pesantren.


Tipe-tipe santri di pesantren berdasarkan niat masuk


Pada masa orientasi santri, biasanya selain perkenalan pengurus selalu menanyakan apa alasan yang mendasari mereka memilih 3 tahun, 6 tahun, atau berapapun itu dari total hidup mereka untuk menjadi santri di ponpes itu.


Dari pertanyaan tersebut, para santri menjawab bahwa itu adalah keinginan mereka sendiri untuk lebih memahami ilmu agama. Namun, ketika kami berbincang tanpa adanya pengurus pondok, jawaban mereka berbeda. Paling tidak, ada tiga alasan mengapa mereka menyantri di pondok pesantren itu.


Yang pertama, mereka yang benar-benar secara sukarela, bahkan ada yang merengek meminta restu orang tua mereka untuk mendaftar di pondok pesantren. Santri tipe ini biasanya bersungguh-sungguh dalam menggapai cita-citanya sebagai seorang da'i.


Yang kedua, ada santri yang dihukum oleh orang tuanya karena sebuah kenakalan yang dia lakukan dengan cara dipaksa masuk ke pondok pesantren. Tujuannya mulia, tapi membebankan anak bermasalah alih-alih mendidiknya adalah cara yang kurang tepat menurut saya. Memang, kenakalan kepada kalian berhenti. Tapi, berpindah menimpa kami yang seasrama dengan dia. 


Yang ketiga, mengikuti jejak sahabat di jenjang pendidikan sebelumnya. Santri tipe ini memang nggak bermasalah. Namun, jika sejak awal dia sudah nggak ada pendirian dan hanya ikut-ikutan, kehidupan mandiri yang diajarkan di pondok pesantren akan menghabisinya cepat atau lambat.


Penyimpangan sosial di pesantren


Jika panjenengan para orang tua merasa bahwa pondok pesantren lah tempat paling aman dari penyimpangan sosial, mohon maaf, ini mungkin bagian yang perlu kalian ketahui sebelum kekeuh memaksa anak kalian untuk dipondokkan.


Jangan kira nggak ada penyimpangan sosial di pondok pesantren. Namanya juga manusia, sekalipun di pondok pesantren, yang namanya kelakuan menyimpang tetap ada. Dan hal yang mungkin akan disesali adalah ketidakadaan kalian untuk melindungi anak kalian setiap waktu.


Pencuri, pembuli, tukang buat keributan, kabur dari area pondok untuk kebebasan yang sangat terbatas, hingga kelainan seksual dan lain-lain, itu semua ada pada saat saya menyantri selama tiga tahun kala itu. 


Nggak ada yang pantas mengganti peran orang tua


Santri di sebuah pondok pesantren pastinya diasuh oleh beberapa orang pengurus. Setidaknya sampai waktu kepulangan, mereka lah yang akan menggantikan peran orang tua di lingkungan pondok. Meskipun begitu, sesayang-sayangnya pengasuh kepada santri nggak akan mampu menyamai, apalagi melebihi kasih sayang orang tua kandung.


Selain itu, ketiadaan orang tua ketika sang anak sedang dirundung masalah akan menyebabkan renggangnya hubungan keluarga. Masalah yang diterima setelah lulus dari pondok pesantren tersebut akan dipendam sendiri, alih-alih berbagi curahan hati ke orang tua sendiri. Setidaknya itulah yang saya rasakan setelah lulus dari pondok pesantren itu.


Masyarakat terlalu menganggap pesantren sebagai solusi


Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pesantren selalu dianggap sebagai solusi dari permasalahan terkait pengasuhan anak. Terutama untuk mereka yang merasa kurang mampu untuk mendidik anak mereka dengan baik.


Tapi, percayalah, mempercayakan jalur masa depan anak kepada dirinya sendiri lebih baik menurut saya. Dia juga yang akan menjalani masa depan itu pada akhirnya. Jadi, jika ingin memasukkan anak ke pondok, setidaknya tanyakan dulu persetujuan kepadanya. Kalau sama-sama setuju bisa dilanjutkan. Jika tidak, ya jangan dipaksakan.


Menurut pendapat saya berdasarkan apa yang saya alami ketika di pondok dulu, pondok pesantren hanya menguatkan apa yang sebelumnya sudah ada. Yang nakal akan semakin nakal, yang nurut akan  semakin nurut, yang manja akan semakin manja nantinya.


Penulis : Muhammad Arif Prayoga

Gambar : Mufid Majnun / Unsplash


Tags: Wali santri, Sisi lain, Santri, Pondok pesantren

Posting Komentar

0 Komentar