Copa Media—Siapa yang nggak tahu dengan film The Raid? Sebuah film aksi harapan Gareth Evans yang digadang-gadang sebagai film terbaik buatan anak bangsa. Konsep cerita hingga koreografi yang ditampilkan sangat memanjakan mata, tak khayal jika banyak digemari, kala itu.
Gambar: svklimkin / Pixabay
Dari film ini lah, beberapa aktor asal Indonesia terpilih untuk mewakili film dengan genre yang sama di mancanegara. Aura sangar dari Iko Uwais, Yayan Ruhian, serta antagonis utama Ray Sahetapy di film ini membuat rumah produksi luar negeri mulai melirik aktor-aktor guna dikontrak.
Sisi buruk dari bagusnya film The Raid
Jujur, saya sendiri juga belum bisa lepas dari kekaguman kepada film ini, sekalipun film ini sudah tayang sejak 2011 silam. Namun, saya juga melihat sisi buruk dari mendunianya film garapan anak bangsa satu ini. Sisi buruk inilah yang bikin industri perfilman di Indonesia nggak digemari oleh saya sebagai salah satu warga negara, khususnya untuk genre film aksi.
Standar film aksi terbagus membuat film-film aksi yang baru berkutat untuk turut menggunakan format koreografi yang sama sebagai bentuk usaha untuk menyamai, atau bahkan ingin menandingi koreografi yang disajikan The Raid. Atau, bisa saya bilang, film bergenre aksi masa kini terlalu The Raid sentris.
Hanya cocok di film The Raid saja
Gerakan-gerakan seni silat dipertontonkan untuk melawan gerombolan orang yang menyerang secara keroyokan. Beberapa, penyerang ada yang menggunakan tangan kosong, ada pula yang memegang senjata tajam. Semua lawan itu turut terhempas terbang imbas kelihaian beladiri yang diperagakan.
Adegan seperti ini terlihat epik di film The Raid, tapi sangat "nggak banget" kalau dilakukan juga di film lain. Bukan berarti saya terlalu fanatik kepada film yang saya kagumi, apalagi benci dengan seni beladiri. Melainkan, sepertinya gerakan-gerakan dalam adegan pertarungan bisa sedikit ditingkatkan biar nggak begitu-begitu saja.
Film luar bisa, loh, bikin koreografi berbeda
"Ah, semua film aksi pasti koreografinya seperti itu," mungkin kalimat ini terbesit di kepala pembaca saat menyimak tulisan saya ini. Tapi, cobalah nonton film-film luar negeri yang bergenre aksi. Menurut saya, perasaan saat menonton sangat jauh berbeda dibandingkan dengan menonton film aksi dalam negeri.
Film John Wick misalnya, memang pertarungan di film tersebut keroyokan. Sekalipun ada aktor The Raid yang tampil di sana, saya sama sekali nggak merasa ada sentuhan The Raid sentris pada film ini. Nggak ada sama sekali ganjalan dalam hati saat menonton, semua alurnya bisa saya nikmati.
Saya suka film aksi luar negeri, apalagi kalau ditambah satu genre lagi, yakni superhero. Aksi sosok pahlawan dalam menumpas kejahatan nggak mungkin diceritakan tanpa pertengkaran. Oleh sebab itu, saya kira genre film superhero juga bisa dikatakan sebagai subgenre film aksi.
Baik Marvel, DC, maupun film bergenre superhero lainnya, saya nggak ada masalah saat menontonnya. Saya menikmati semua koreografi perkelahian tanpa teringat sedikitpun terhadap film The Raid, karena memang nggak sama koreografinya.
The Raid sentris juga menjangkit genre film superhero di Indonesia
Namun, saya mulai ada masalah saat menonton film superhero garapan rumah produksi anak bangsa. Decak kagum pada raut muka seharusnya saya tunjukkan saat melihat perkembangan dunia perfilman di Indonesia semakin maju, hingga siap menggarap film dengan genre superhero. Tapi, yang ada malah sebaliknya.
Kemunculan franchise Bumilangit Cinematic Universe di Indonesia sempat membuat saya bangga. Akhirnya, setelah sekian lama, ada "Marvel" versi lokal yang bisa dinikmati di layar lebar. Namun, kekaguman saya itu sirna setelah menonton film pertama dari franchise ini.
Gundala judulnya, nggak perlu saya jelaskan alurnya, intinya ada orang disambar petir dan jadi superhero. Ceritanya nggak sama-sama amat dengan The Raid, tapi ada banyak adegan yang membuat saya langsung berpikir, "Ah, The Raid sentris lagi!"
Saat Gundala dikeroyok orang yang membawa senjata tajam misalnya, di situ saya sudah merasa malas untuk menontonnya. Memang, adegan itu dibumbui dengan slow motion yang jarang diperlihatkan di film The Raid. Namun, hal tersebut nggak bisa membuat ingatan saya mengenai film lawas itu hilang.
Dear rumah produksi film di Indonesia
Teruntuk industri perfilman Indonesia, khususnya yang memproduksi film bergenre aksi. Sudah lah, jangan lagi menggunakan koreografi pertarungan seperti itu lagi. Gunakanlah kreativitas yang lebih untuk bisa mengunggulinya, bukan malah menggunakannya kembali.
Memang film Indonesia jadi dipandang karena koreografi itu. Tapi, dulu kan koreografi seperti itu belum lazim digunakan, itu lah yang membuat pembeda film The Raid dengan film-film lainnya kala itu. Coba, deh, buat koreografi yang beda lagi, dijamin, filmnya bakal sukses. Minimal di dalam negeri, maksimal ya mendunia lagi.
BACA JUGA: Sisi Lain Pesantren yang Harus Diketahui oleh Calon Para Wali Santri
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Film Indonesia, Genre film aksi, The Raid, The Raid sentris, Alasan, Nggak suka,
0 Komentar