Selain dikontrol jumlah penyalurannya kepada masyarakat, LPG bersubsidi 3 kg, atau yang sering disebut dengan "tabung melon" juga diatur harga jualnya. Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) ini terpampang dalam plang berwarna hijau yang wajib terpasang di dinding pangkalan LPG resmi. Baik di SPBU, maupun yang rumahan.
Gambar: Steve Buissinne / Pixabay
Kalau saya baca dari plang hijau yang kebetulan juga semampir di dinding rumah saya itu, penetapan HET tabung melon diatur oleh SK Gubernur Jawa Tengah dengan nomor 541/15 yang terbit pada tahun 2015 lalu. Dalam surat yang ditandatangani oleh Ganjar beberapa tahun silam itu, disebutkan bahwa penjualan LPG 3 kg tidak boleh lebih dari Rp 15.500.
Selain menampilkan HET, plang hijau itu juga memberikan beberapa nomor yang bisa dijadikan tujuan untuk melaporkan pangkalan tabung melon apabila menjual di atas HET. Seperti agen LPG, Pemda setempat, Pertamina, dan Ditjen Migas. Dengan adanya nomor-nomor kontak pengaduan ini, peran masyarakat diperlukan untuk turut mengontrol peredaran LPG 3 kg, khususnya terkait penjualan di atas HET yang ditentukan.
Realisasi harga tabung melon
SK itu sudah diberlakukan selama 8 tahun. Namun, harga tabung melon yang beredar di kalangan masyarakat jarang ada yang sesuai dengan peraturan tersebut. Saat ini, di sekitar saya, harga LPG bersubsidi dengan bobot 3 kg dibanderol dengan kisaran harga Rp 17.000 hingga Rp 18.000. Itu baru harga yang dipatok oleh pangkalan, belum yang dijual di toko kelontong.
Kalau saya tanya-tanya, sih, di toko kelontong harganya berkisar Rp 19.000 hingga atau bahkan lebih dari Rp 20.000. Apalagi kalau sedang langka seperti sekarang ini. Sekalipun bisnis penjualan barang bersubsidi selain dari pihak yang ditunjuk secara resmi seperti membeli LPG 3 kg di toko kelontong dikategorikan sebagai kegiatan ilegal, namun kalau barangnya sedang langka, apa boleh buat?
Subsidi Tepat kembali lagi
Baru-baru ini, Pertamina mengembangkan sebuah aplikasi berbasis website bernama Subsidi Tepat LPG, terasa tidak asing, kan? Kamu bukan sedang dejavu, kok. Memang program Subsidi Tepat pernah diberlakukan juga sebelumnya pada produk BBM. Penerapannya saya rasa cukup berhasil. Setiap saya membeli bensin di SPBU, saya melihat para pengemudi mobil mau menunjukkan barcode kepada pegawai SPBU sebelum mengisi BBM bersubsidi.
Kurang lebih prosesnya sama seperti Subsidi Tepat pada BBM saat itu. Pelanggan tabung melon diwajibkan untuk mendaftarkan diri ke situs Subsidi Tepat LPG melalui pangkalan resmi. Di sana, pelanggan yang mau didaftarkan sebagai penerima LPG bersubsidi perlu menumpuk sejumlah data diri seperti KK dan KTP.
Privilese anak pemilik pangkalan LPG bersubsidi
Nggak semua orang punya privilese untuk menggunakan aplikasi ini. Hanya pangkalan-pangkalan resmi saja yang bisa membukanya. Sebab, untuk masuk ke dalam aplikasi, diperlukan proses login dengan data-data yang terdaftar di basis data milik Pertamina. Tidak semua orang bisa mendaftar. Pun, pangkalan yang mendaftarkan juga agen.
Nah, karena rumah saya merupakan salah satu pangkalan resmi, saya pun berkesempatan untuk turut memasang aplikasi tersebut di ponsel saya. Bukan memasang, sih, lebih tepatnya menambahkan ke layar ponsel, karena aplikasi tersebut sejatinya adalah situs web. Aplikasi ini perlu ter-login juga di ponsel saya supaya saya juga bisa membantu menginput data pelanggan di pangkalan keluarga saya ini.
Keanehan pada aplikasi Subsidi Tepat LPG
Setelah proses login dengan memasukkan email dan kata sandi, saya diminta untuk memasukkan beberapa data pangkalan. Seperti KTP pemilik pangkalan yang terdaftar di agen, jumlah tabung yang di-drop oleh agen setiap minggunya, dan juga harga penyaluran LPG. Nah, di harga penyaluran LPG ini, saya merasa ada keanehan.
Sebagaimana yang sudah saya singgung di awal, HET tabung melon yang sudah ditetapkan oleh SK Gubernur Jawa Tengah adalah Rp 15.500. Namun, angka yang berbeda tertera pada aplikasi buatan Pertamina ini. Di aplikasi tersebut, tertulis bahwa penjualan LPG bersubsidi harus berada di kisaran minimal Rp 16.000 dan maksimal Rp 18.000.
Perbedaan penetapan harga ini cukup pelik menurut saya. Dengan batasan tersebut, bahkan saya dianjurkan untuk menjual lebih dari HET yang sudah berjalan 8 tahun semenjak penetapannya. Ini aplikasi yang membuat Pertamina sendiri, loh. Kok bisa ada tumpang tindih kebijakan seperti ini. Aneh, bukan?
Lalu apa gunanya kewajiban memasang plang pangkalan?
Perbedaan mengenai batasan harga penjualan LPG bersubsidi kepada masyarakat ini membuat saya bingung. Pertanyaan muncul di benak saya, sebenarnya, harga penyaluran yang berlaku itu yang mana? Sesuai SK Gubernur, atau aplikasi Subsidi Tepat?
Kalau Pertamina membolehkan untuk menjual tabung melon dengan kisaran harga yang tertampil di aplikasi Subsidi Tepat, lalu mengapa ada kewajiban untuk memasang plang berwarna hijau tua itu? Kenapa tidak sekalian menampilkan penetapan harga yang sama dengan anjuran aplikasi?
Plang itu juga nggak didapat secara cuma-cuma loh, pangkalan disuruh untuk membayar biaya pembuatan plang. Hanya ratusan ribu rupiah, sih, tapi kalau penetapan harga yang tertulis di plang itu tidak sesuai dengan anjuran Pertamina, buat apa pangkalan wajib untuk memasang?
Dengan memasang plang tersebut saat harga penyaluran kurang jelas, pangkalan berkorban dalam beberapa hal, loh. Pertama, plang tersebut merusak estetika rumah yang didapuk menjadi pangkalan. Kedua, pangkalan harus siap menjawab komplain pelanggan terkait perbedaan harga ini. Ketiga, kontak pengaduan yang bisa saja dihubungi oleh pelanggan yang kesal akibat tumpang tindih peraturan ini.
Nah, kan? Bingung, kan? Coba, deh, Pertamina perlu perjelas lagi, HET tabung melon mana yang berlaku?
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Harga Eceran Tertinggi, HET, SK Gubernur, Jawa Tengah, MyPertamina, LPG, Subsidi,
0 Komentar