Konsep Supply and Demand Aneh yang Diterapkan oleh Pangkalan Resmi saat Kelangkaan LPG Melanda


Salah kaprah penerapan konsep dagang ini juga memicu kenaikan harga LPG yang beredar secara ilegal di pengecer. Padahal, para pengecer ini sangat diandalkan oleh masyarakat untuk sekadar bisa menyantap masakan sendiri.


Dalam teori perdagangan, ada sebuah konsep yang membuat harga barang menjadi naik atau turun. Konsep ini dinamakan dengan Supply and Demand, atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi persediaan dan permintaan. 




Gambar: Steve Buissinne / Pixabay


Dalam konsep perdagangan satu ini, harga barang akan cenderung naik jika persediaan menipis dan permintaan meluap. Kenaikan harga tersebut terjadi karena dibutuhkan usaha dan tenaga lebih untuk mencarikan barang yang menjadi permintaan pelanggan.


Sebaliknya, jika persediaan barang terlalu banyak dan permintaan menurun, maka penjual harus mau nggak mau menurunkan harga. Sebab, bisa jadi penurunan minat atas pembelian barang tersebut dipicu oleh harga jualnya yang terlalu tinggi.


Adanya "usaha lebih" menjadi penyebab konsep dagang ini 


Contoh konkrit kenaikan harga barang tersebut bisa kita lihat dalam dunia pertambangan. Batuan langka tentu memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan batuan yang lebih mudah ditemui. Sebab, untuk mencari batuan yang langka tersebut dibutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang lebih banyak pula. 


Faktor-faktor tersebut lah yang nantinya akan menentukan berapa harga modal dan berapa harga jual yang perlu dibayarkan pelanggan yang ingin membeli batuan langka tersebut. Meskipun, ada faktor lain yang memengaruhi kenaikan harga batuan. Seperti misalnya estetika, kebergunaan, kemistisan, dan lain sebagainya.


Aneh untuk diterapkan pada pangkalan LPG


Konsep ini sebenarnya bisa berlaku di semua kegiatan perdagangan, nggak harus jual beli barang hasil tambang saja. Selama barang yang diminta pelanggan susah dicari dan memerlukan bensin tambahan untuk mencari ke penjuru daerah, tentu kenaikan harga barang tersebut terbilang wajar, bahkan harus terjadi. Kalau tidak, ya, rugi, dong!


Namun, konsep ini seharusnya tidak menyasar pada bisnis jual beli LPG bersubsidi 3 kg di pangkalan resmi Pertamina. Kalau di pengecer seperti toko kelontong masih wajar, walaupun, ya, sebenarnya jual beli barang subsidi selain melalui pangkalan resmi adalah kegiatan ilegal. Saya katakan wajar karena  mereka membutuhkan usaha lebih untuk mencari pangkalan-pangkalan resmi yang persediaan gasnya masih ada. Apalagi, di saat-saat kelangkaan LPG sekarang ini.


Alasan mengapa konsep dagang ini aneh diterapkan pada pangkalan LPG 


Mengapa konsep dagang ini aneh untuk dilakukan oleh pangkalan resmi LPG 3kg? Sini, saya jelaskan. Pangkalan LPG resmi sejatinya tidak memerlukan usaha banyak untuk berjalan sebagai sebuah usaha. Baik saat LPG sedang langka seperti sekarang, maupun saat-saat normal.


Hal yang mereka lakukan hanyalah menunggu datangnya jatah (kuota) gas yang sudah ditentukan oleh agen LPG Pertamina yang sudah dipastikan datang setiap minggunya. Kelangkaan seperti sekarang ini tidak berimbas pada jumlah kuota yang diberikan oleh agen, kuota per minggunya tetap sama saja seperti biasanya. 


Justru, yang memengaruhi kenaikan atau penurunan kuota adalah tercapai atau tidaknya penjualan sesuai target yang disepakati. Pertambahan atau pengurangan kuota ini dijadikan sebagai apresiasi atau sanksi.


Nah, karena kuota yang diberikan tetap sama walaupun kondisi barang sedang langka, maka konsep Supply and Demand tidak bisa diterapkan di pangkalan resmi. Alih-alih menerapkan konsep perdagangan, justru menaikkan harga LPG 3 kg saat sedang langka-langkanya seperti sekarang ini lebih terlihat seperti memanfaatkan keadaan. Mentang-mentang barang susah dicari, cuan dari pelanggan yang datang membeli malah dieksploitasi.


Aturan penetapan harga, sih, sudah jelas


Sebenarnya, ya, penetapan harga LPG 3 kg diatur dalam SK Gubernur. Kalau di Jawa Tengah nomor peraturannya adalah 541/15 Tahun 2015. Dalam keputusan itu, termaktub bahwa harga penjualan LPG bersubsidi tidak boleh lebih dari Rp 15.500. 


Aturan tersebut tercetak tegas dalam plang pangkalan berwarna hijau yang terpaku di dinding depan sebuah pangkalan LPG resmi. Tapi, ya, namanya bisnis rumahan, sekalipun resmi tercatat di agen Pertamina sebagai pangkalan, mengontrol mereka untuk mengikuti peraturan yang berlaku pasti merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil dilakukan.


Dampak yang dirasakan masyarakat


Salah kaprah penerapan konsep dagang ini juga memicu kenaikan harga LPG yang beredar secara ilegal di pengecer. Belum lagi ditambah dengan imbuhan modal bensin yang mereka habiskan untuk wira-wiri dari pangkalan ke pangkalan untuk menanyakan sisa stok gas. Padahal, para pengecer ini sangat diandalkan oleh masyarakat untuk sekadar bisa menyantap masakan sendiri.


Alhasil, masyarakat yang menukarkan tabung LPG 3 kg ke pengecer yang menjadi korban dari keegoisan pangkalan resmi Pertamina ini. Mereka, para masyarakat miskin yang menjadi target penyaluran subsidi LPG, seharusnya bisa menikmati produk subsidi dengan harga yang sangat miring, jadi harus mengeluarkan uang lebih banyak yang malah bikin kantong kering.


Dear pangkalan LPG resmi Pertamina


Teruntuk para pangkalan LPG resmi, tolong, jangan timbulkan efek domino dari fenomena kebutuhan energi yang kalian manfaatkan ini. Masyarakat sudah dilanda kegusaran dengan terjadinya kelangkaan LPG 3 kg ini, seharusnya kalian memudahkan, bukan malah memanfaatkan keadaan. 


Kalau untung yang kalian dapatkan dari imbalan penjualan per tabung kepada masyarakat kurang, ya, jangan jadikan masyarakat sebagai pelampiasan. Kalau harga serah terima kepemilikan pangkalan dari agen Pertamina dan makelar ketinggian sehingga ROI (pengembalian investasi) lama untuk didapatkan, ya, jangan dijadikan alasan untuk melakukan perbuatan zalim kepada masyarakat, dong!


Penulis : Muhammad Arif Prayoga


Tags: Konsep dagang, Supply, Demand, Pangkalan LPG, Pertamina, LPG bersubsidi,

Posting Komentar

0 Komentar