Pembahasan mengenai masalah kesehatan mental, umumnya hal berkaitan yang bisa diceritakan adalah masalah pernikahan. Terlebih kalau umur semakin bertambah, waktu terus berkurang, dan celoteh orang-orang terdekat yang semakin membuat hancur perasaan hati. Atau acap juga keluarga berantakan yang menjadi penyebabnya.
Gambar: WOKANDAPIX / Pixabay
Namun, saya nggak merasa relate dengan dua kondisi tersebut. Sebab, puji syukur, saya diberi kemudahan dalam hal pernikahan. Saya menikah di usia yang cukup dini, yakni 23 tahun, sehingga omongan tajam tetangga maupun kerabat mengenai hubungan umur dengan pernikahan belum sempat saya dengar.
Keluarga saya juga nggak membuat kesehatan mental saya terganggu. Meskipun dalam keseharian saya sering mendengar keributan antara bapak dan ibu saya, namun pertengkaran itu sama sekali nggak mengusik mental saya. Hanya cukup dengan menyingkir di kamar sambil menyetel YouTube atau bermain game, keributan yang terjadi seolah menghilang ditelan nikmatnya hiburan yang ada di depan saya.
Pengalaman mengenai masalah kesehatan mental justru saya rasakan kala berkutat dengan pengerjaan tugas akhir untuk jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Ya, tugas apa lagi yang saya maksud kalau bukan skripsi yang menjadi satu-satunya jalan untuk bisa menyandang gelar sarjana itu.
Orang tua saya, baik bapak maupun ibu, setiap hari selalu menanyakan progres atas skripsi yang saya kerjakan. Biasanya dilakukan di meja makan saat kami sekeluarga berkumpul untuk menyantap hidangan. Bak rentenir yang menanyakan kapan pelunasan hutang, kedua orang tua saya selalu menanyakan hal yang sama, "Kapan seminar?" dan "Kapan ujian?"
Awalnya, saya nggak ambil pusing mengenai pertanyaan berulang ini. Saya menjawab dengan apa adanya, sampai dimana progres pengerjaan skripsi saya. Saya bilang sampai bab ini, kata dosen pembimbing harus seperti ini, nanti malam dikerjakan, besuk bimbingan, dan lain sebagainya.
Namun, di tengah pengerjaan skripsi, saya mendapati masalah yang cukup mencegat saya untuk segera menyelesaikan tugas ini. Sehingga, pertanyaan ini semakin menyiksa batin saja saya rasa. Seolah, orang tua saya nggak peduli dengan apa yang sedang saya alami kala itu.
Masalah pertama, kemampuan bersosial saya. Jarang bersosialisasi dengan tetangga sekitar membuat saya besar sebagai sosok yang gagap berkomunikasi. Tentu, kemampuan berkomunikasi penting untuk dimiliki dalam proses pengerjaan skripsi. Terutama untuk yang memilih menggunakan metode penelitian kualitatif.
Sebenarnya ada alternatif agar saya nggak harus mewawancarai seseorang secara empat mata, yakni dengan memilih metode satunya, kuantitatif. Namun, selain karena saya buruk dalam urusan hitung-hitungan, mencari sampel penelitian kepada orang yang nggak saya kenal dalam jumlah puluhan, bahkan ratusan, juga perlu kecakapan bersosial. Nggak sanggup saya membayangkan jika saya menggunakan metode ini untuk skripsi saya.
Masalah kecenderungan introvert ini membuat saya sering mengulur waktu sampai benar-benar siap untuk mewawancarai objek penelitian secara empat mata. Saya lemah dalam pengembangan pertanyaan saat wawancara berlangsung, sehingga pertanyaan demi pertanyaan saya persiapkan sedetail mungkin sebelum memberanikan diri untuk meminta wawancara.
Masalah kedua, adanya pertikaian dalam urusan cinta. Saat pengerjaan skripsi kala itu, saya juga menjalin cinta dengan wanita yang kini sudah sudah mendampingi hidup saya. Ya, saya dan istri yang saat itu masih menjadi pacar sering bertikai mengenai apapun. Gejolak dua ego beririsan menjadi sebabnya. Bahkan, hubungan kami sempat istirahat sejenak karenanya.
Menurut saya, pengerjaan skripsi juga harus didukung dengan suasana hati. Kalau nuansanya sejuk dan dipenuhi dengan bunga-bunga kebahagiaan, pasti keinginan untuk mencicil satu dua paragraf akan menuntun seseorang untuk menuntaskan pekerjaannya.
Namun, saat itu hati saya sedang pilu memendam kesedihan dan amarah imbas "bubrah"-nya kisah asmara kami. Kondisi ini membuat saya menjadi lebih sering menyendiri di kamar sambil menyetel musik-musik bernada mellow dengan lirik yang imbang dengan nuansa yang sedang saya alami.
Masalah ketiga, hidup di dunia bermain peran lebih menyenangkan. Selain termenung sambil menyimak kata demi kata dalam lagu mellow, saya juga mengatasi kesedihan hati saya dengan bermain peran dalam permainan daring di laptop saya. GTA San Andreas Role Play namanya.
Di game itu, saya memerankan karakter saya sebagai dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit. Sifat saya dengan karakter saya di game sangat jauh berbeda. Di sana, saya dituntut untuk bisa komunikatif. Sebab, memang game tersebut adalah game daring, sehingga ada pemain lain yang juga menjadi karakternya masing-masing. Apalagi sebagai dokter, komunikasi dengan pasien maupun rekan kerja harus selalu terjalin.
Game ini berbasis videoplay dan teks. Jadi, percakapan dalam game itu dilakukan dengan cara mengetik. Kalau saja percakapan dilakukan dengan audio, alias berbicara, mungkin saya nggak akan senyaman saat itu memainkannya.
Mungkin, mengetik merupakan cara ternyaman bagi saya untuk berkomunikasi, sehingga saya terhanyut dalam kesenangan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Andai saja di dunia ini semua percakapan dilakukan dengan mengetik, pasti saya akan menikmatinya. Tapi kalau begitu, apa gunanya mulut, ya? Hehe.
Tentu, saya nggak akan jujur kepada kedua orang tua saya mengenai tiga sebab kemoloran pengerjaan skripsi saya itu. Kalau itu saya lakukan, pertanyaan yang sebelumnya hanya berkutat pada kapan seminar proposal dan ujian akhir berlangsung akan berkembang dan merembet ke segala arah, bukan?
Masalah demi masalah saya pendam sendiri di dalam hati. Kegelisahan hidup terus saya alami. Bahkan, imbas dari perkara pertanyaan yang terus berulang di meja makan ini, kamar saya selalu dipenuhi dengan rontokan rambut akibat stres yang saya alami. Kamar yang saya huni itu sudah seperti ruangan di dalam barbershop. Bedanya, nggak ada tukang cukur dan alat-alatnya saja.
Bahkan, saking stresnya, kala itu saya sudah menaruh tali dadung di salah satu keranjang belanja e-commerce yang saya gunakan. Beruntung saya terus menguatkan diri untuk nggak melakukan check-out pada produk yang hendak saya gunakan untuk mengakhiri hidup itu. Kalau saja ada satu masalah lagi yang mengganggu kejiwaan saya, mungkin tulisan ini nggak akan ditakdirkan untuk saya tulis.
Teruntuk para orang tua, terutama orang tua saya sendiri, saya tahu, investasi di dunia pendidikan nggak bisa dibilang murah. Namun, biaya yang mahal itu jangan dijadikan alasan untuk mendesak percepatan kelulusan yang nggak semudah membalik tangan. Berikan saja dukungan-dukungan moral agar menambah semangat dalam meramu susunan paragraf menjadi setumpuk kertas yang terbagi menjadi beberapa bab itu.
Jangan lupa pula untuk berikan kepercayaan sepenuhnya kepada anak yang mengerjakan. Percayalah, skripsi tersebut dicicil sedikit demi sedikit sesuai dengan keterbatasan kemampuan otak masing-masing mahasiswa. Semua hanya perlu waktu, memburu-buru yang kalian pikir akan mempercepat itu malah memperlambat dan menambah beban pikiran saja. Bahkan, hampir merenggut nyawa saya, kala itu.
Penulis : Muhammad Arif Prayoga
Tags: Skripsi, Bikin stres, Buru-buru, Kesehatan mental,
0 Komentar